Fitrah Manusia menurut Erich Fromm
Sampai abad
modern ilmuwan masih mengira kekerasan sebagai sifat bawaan manusia. Namun
penelitian yang lebih belakangan membuktikan kesimpulan sebaliknya. Erich Fromm
dalam buku The Anatomy of Human Destructiveness (terbit 1973)
membuktikan bahwa agresi destruktif bukan sifat bawaan lahir manusia.
Kesimpulan ini bukan sekedar spekulasi subjektif, tapi dibuktikannya secara
ilmiah dengan sumbangan temuan berbagai bidang ilmu.
Memerhatikan pemikiran
para ahli psikoanalisa sebelumnya, Sigmund Freud (1856-1939 M), dalam bukunya The
Ego and The Id (1923 M) berhujah tentang adanya insting kehidupan (eros),
dan insting kematian (death instinct) dalam diri manusia. Insting
kematian bisa tertuju kepada organisme itu sendiri, dengan demikian merupakan
dorongan perusakan diri, atau tertuju ke luar yang berarti kecenderungan
merusak pihak lain. Meski pun Freud berpendirian bahwa kekuatan insting
kematian dapat dikurangi, namun asumsi dasarnya masih tetap, bahwa sejak lahir
manusia telah membawa dorongan merusak.
Sedikit
berbeda dari Freud, Konrad Lorenz (1903-1989
M), seorang psikolog, dalam bukunya On Agression (1966 M), berteori
bahwa manusia lahir dengan dianugerahi potensi agresi untuk pertahanan hidup.
Agresi yang mulanya defensif ini bertransformasi dalam diri manusia menjadi
dorongan spontan yang akan meledak meski tanpa stimuli (destruktif). Jika
Sigmund Freud berpandangan, bahwa dorongan destruktif (insting kematian)
berlawanan dengan eros (insting kehidupan), maka bagi Lorenz, cinta itu
sendiri justru merupakan produk dari agresi. Jadi kedua tokoh ini memiliki
konsepsi yang berbeda tentang agresi.
Meski kedua
tokoh ini berangkat dari landasan teoretis yang berbeda, namun dalam hal
ketersaluran agresi, keduanya sepakat. Baik Freud mau pun Lorenz, sama-sama
setuju bahwa kehidupan manusia tidak sehat jika agresi tidak tersalur dalam
bentuk tindakan. Dari itu Lorenz mengatakan, bahwa manusia beradab masa kini
menderita kekurangan penyaluran dorongan agresinya. Katakanlah ini kesimpulan
sementara yang ditawarkan psikoanalisa, lalu bagaimana agresi dalam pandangan
para antropolog?
Dengan
memanfaatkan hasil temuan arkeologi, para antropolog meyakini, bahwa semakin
primitif seseorang, maka ia semakin agresif. Misalnya pemikiran S. L. Washburn,
ia mengemukakan premis: “mengingat fakta bahwa dalam 99% sejarahnya, manusia
hidup sebagai pemburu, maka ilmu hayat, ilmu jiwa, dan adat istiadat kita tidak
lepas dari keberadaan sebagai pemburu di masa silam.” Dari itu Washburn sampai
pada kesimpulan, bahwa manusia memiliki psikologi karnivora. Karenanya,
mengajari orang membunuh adalah mudah, sedangkan mengembangkan adat istiadat
yang bersih dari pembunuhan adalah sulit.
Erich Fromm
menunjukkan dua contoh kesalahan dalam kesimpulan para ilmuwan, pertama,
kerancuan dalam penggunaan kata “primitif.” Kata ini digunakan untuk merujuk
masyarakat pra-peradaban yang dicirikan tidak memiliki bahasa tulis, teknik
yang rumit, dan alat pembayaran, namun mengenai struktur ekonomi, sosial, dan
politik, masing-masing mereka sangat berbeda. Saat dikomparasikan, ternyata
tindakan destruktif justru kurang pada masyarakat pemburu pengumpul makanan,
sebaliknya malah dominan pada masyarakat berperadaban. Kesalahan kedua, tidak
diperhatikannya motivasi spiritual dan relijius dari tindakan destruktif yang
dilakukan. Contohnya, persembahan anak sebagai korban seperti yang dilakukan
Nabi Ibrahim, kasus ini justru menonjolkan rasa cinta Ibrahim kepada puteranya,
bukan menonjolkan sisi destruktif.
Selanjutnya
dengan pendekatan psikologi, psikologi sosial, anatomi, antropologi, sosiologi,
sejarah, bahkan arkeologi, Erich Fromm membuktikan agresi destruktif bukan lah
fitrah manusia, tapi dorongan yang muncul karena faktor lingkungan. Bagi Erich
Fromm, pada dasarnya manusia bukan makhluk brutal, destruktif, dan jahat, namun
pertumbuhan kota-kota yang kian memadat kemudian membentuk “karakter sosial”
persaingan, di mana hasrat dasar manusia berpotensi memunculkan agresi
destruktif. Jadi kedestruktifan bukan fitrah manusia.
Menurut Erich
Fromm, fitrah merupakan esensi manusia sehingga disebut makhluk berfikir,
binatang sosial, binatang yang membuat alat (homo faber), atau binatang
pembuat simbol.
Komentar
Posting Komentar