Maqāsid al-Syāri‘ dalam Penetapan Nasab berdasar Firāsy
Imam al-Bukhāri membukukan sebuah Hadis dari ‘Ā’isyah (Sahīh al-Bukhārī, Kitāb al-Farā’id, bāb al-walad lial-firāsy hurratan kanāt aw amatan),
bahwa pada saat pembebasan Mekah terjadi peristiwa saling klaim nasab atas seorang
anak.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ عُتْبَةُ عَهِدَ
إِلَى أَخِيهِ سَعْدٍ أَنَّ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ مِنِّي فَاقْبِضْهُ إِلَيْكَ
فَلَمَّا كَانَ عَامَ الْفَتْحِ أَخَذَهُ سَعْدٌ فَقَالَ ابْنُ أَخِي عَهِدَ
إِلَيَّ فِيهِ فَقَامَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فَقَالَ أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ
أَبِي وُلِدَ عَلَى ِرَاشِهِ فَتَسَاوَقَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي قَدْ كَانَ
عَهِدَ إِلَيَّ فِيهِ فَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي
وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ
لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ثُمَّ
قَالَ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ احْتَجِبِي مِنْهُ لِمَا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ
بِعُتْبَةَ فَمَا رَآهَا حَتَّى لَقِيَ اللَّهَ
Dikisahkan pada masa itu Sa‘ad ibn Abī Waqqās melihat seorang
anak yang mirip dengan saudaranya, maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, ini anak
saudaraku, ‘Utbah ibn Abī Waqqās, ia telah memintaku memungutnya.” Lalu
datanglah ‘Abd ibn Zam‘ah dan berkata: “Anak ini saudaraku, ia dilahirkan di
atas ranjang (firāsy)
ayahku dari budaknya.” Maka Rasulullah memutuskan bahwa anak itu adalah saudara
‘Abd.
Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani, secara kronologis terpahami
telah terjadi zina antara ‘Utbah dengan budak milik Zam‘ah yang telah digauli
oleh Zam‘ah. Berdasar tradisi jahiliyyah, nasab anak dari budak akan terhubung
pada pemilik jika diakuinya. Sebaliknya nasab tidak terhubung jika
disangkalnya. Dalam kasus tidak ada pengakuan dari pemilik budak, jika ada
orang lain yang mengakui nasab anak itu, maka penetapan nasab harus disetujui
pemilik budak, atau dengan memakai bantuan al-qā’if, yaitu orang
yang ahli menilai ciri fisik sehingga bisa menunjukkan ayah biologis seseorang
(skill insigns,
physiognomist).
Lalu Ibn Hajar menyatakan (Fath
al-Bārī fī Syarh Sahīh al-Bukhārī [Kairo:
Dār Masr, 2001], jld. XII, hlm. 49), ini adalah kasus pertama penetapkan nasab
anak zina berdasarkan firāsy, yaitu lewat
ucapan Nabi saw.: “al-walad
li al-firāsy.” Maka ucapan Rasul: “Anak adalah milik ranjang, dan
pezina tidak mendapat apa-apa,” berarti penghapusan tradisi jahiliyyah.
Menurut Imam al-Nawawī (Syarh
Sahīh Muslim [Kairo:
Maktabah al-Tawfîqiyyah, t.th.], jld. X, hlm. 39), ucapan Rasul itu berarti;
apabila seseorang memiliki isteri atau budak, maka ia menjadi ‘ranjang’ (firāsy) baginya. Jika
kemudian lahir seorang anak dalam rentang waktu yang sesuai, maka anak itu
dinasabkan padanya sehingga berlaku saling mewarisi dan ketentuan lainnya yang
berkaitan dengan anak, baik anak itu mirip dengannya atau tidak. Kesimpulan
al-Nawawī ini merupakan perluasan (ta‘mīm)
dari nas, sebab Hadis berbicara dalam konteks anak yang lahir dari seorang
budak, sedang al-Nawawī melihatnya secara umum. Secara bayānī, ta‘mīm seperti ini tidak lepas dari masalah,
pertanyaannya, apakah firāsy berarti nikah atau hubungan intim?
Jika firāsy berarti nikah, maka budak tidak
termasuk di dalamnya, sedangkan kasus di atas terjadi pada budak. Sebaliknya
jika yang dimaksud dengan kata firāsy dalam hadis adalah hubungan intim (wat’), maka terjadi
kekhususan al-‘illah, sehingga
keberlakuan “al-walad li
al-firāsy“ ini tidak bisa diperluas (ta‘diyyah) kepada isteri. Namun menurut Ibn
Hajar, para ulama sepakat memberlakukan hadis itu secara umum dan meninggalkan
kekhususan sebab (al-‘ibrah
bi ‘umūm al-lafz, la bi khusūs al-sabab). Hanya saja Imam
al-Syāfi‘ī dan jumhur ulama mensyaratkan adanya waktu dan tempat yang
memungkinkan terjadinya hubungan intim, sedangkan Abū Hanīfah mencukupkan
adanya akad nikah saja sebagai dasar penetapan nasab (Fath al-Bārī, jld. XII,
hlm. 49).
Memerhatikan diskusi di atas, maka maqāsid al-Syāri‘ dalam hadis ini adalah menetapkan
ketentuan baru (tasyri‘)
yang menghapus adat jahiliyyah. Jika jahiliyyah Arab menganggap sah nasab meski
tanpa firāsy, maka Islam hanya mengakui nasab anak
berdasar hubungan yang sah (firāsy),
baik berupa nikah maupun kepemilikan budak (Syarh
Sahīh Muslim, jld. X, hlm. 39). Itulah kenapa--dalam kasus di
atas--Rasul menghubungkan nasab kepada Zam‘ah dengan menggunakan firāsy sebagai indikator, bukan hubungan
darah. Dapat disimpulkan tujuan tasyrī‘ menjadi alasan diabaikannya tanda
fisik yang menunjukkan bahwa anak itu adalah keturunan ‘Utbah sehingga Rasul
meminta isterinya, Sawdah binti Zam‘ah, agar berhijab dari anak itu. Bahkan
menurut ‘Ā’isyah, Sawdah tidak pernah bertemu anak itu sampai akhir hayatnya.
Dengan demikian tidak bisa dikatakan penetapan al-walad
li al-firāsy dilakukan
kerena sulit membuktikan nasab akibat keterbatasan teknologi. Demikian pula
tidak kuat alasan menyatakan bahwa Hadis itu menetapkan ketentuan nasab anak
zina kepada ibunya.
Bagi penulis, penetapan nasab berdasarkan firāsy secara syarak, berkonsekuensi pada
tidak terhubungnya nasab seseorang dengan anak yang lahir bukan dalam firāsy-nya.
Untuk konteks hadis di atas--menurut penulis--konsekuensi ini masuk wilayah al-mafhūm yang disebut dilālat al-iltizāmiyyah dalam ilmu mantiq.
Bagi Mutakallimin, mafhūm terbagi kepada muwāfqah,
dan mukhālafah. Mafhūm muwāfaqah adalah pemahaman yang tak terucap (al-maskūt ‘anh) tapi
sejalan dengan ucapan (al-malfūz
bih). Jika ia menunjuk kepada hukum yang lebih utama (al-awlā) dari yang ada
pada teks, maka ia disebut fahwā al-khitāb, dan jika
setara, disebut lahn al-khitāb.
(Lihat: Wahbah al-Zuhaylī. Usūl al-Fiqh al-Islāmī [Beirut: Dār al-Fikr, 1986], jld I,
hlm. 361. Lihat juga: Al-Syawkānī. Irsyād al-Fuhūl [Beirut: Dār al-Fikr, t.th.], hlm.
178).
Dengan asumsi hadis itu menetapkan ketentuan “al-walad li al-firāsy,“
maka pemahaman tentang dinasabkannya anak zina kepada ibu merupakan al-mafhūm al-mukhālafah.
Pemahaman ini disimpulkan dengan pendekatan epistemologi bayānī,
namun ia juga dikuatkan oleh penjelasan para sahabat yang mungkin saja tahu
masksud Rasul yang sebenarnya. Sebagai contoh, dapat dilihat pernyataan ‘Amrū
ibn al-‘Ās yang diriwayatkan Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya.
حَدَّثَنَا
هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ رَاشِدٍ عَنْ
سُلَيْمَانَ يَعْنِي ابْنَ مُوسَى عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
جَدِّهِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ
كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ يُسْتَلْحَقُ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِي يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ
وَرَثَتُهُ مِنْ بَعْدِهِ فَقَضَى إِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ
أَصَابَهَا فَقَدْ لَحِقَ بِمَنْ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ فِيمَا قُسِمَ
قَبْلَهُ مِنْ الْمِيرَاثِ شَيْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ
فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلَا يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِي يُدْعَى لَهُ
أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَا يَمْلِكُهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ
بِهَا فَإِنَّهُ لَا يُلْحَقُ وَلَا يَرِثُ وَإِنْ كَانَ أَبُوهُ الَّذِي يُدْعَى
لَهُ هُوَ الَّذِي ادَّعَاهُ وَهُوَ وَلَدُ زِنًا لِأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
حُرَّةً أَوْ أَمَةً.
Lalu pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama sehingga Ibn
Rusyd menyatakan asing (syadhdh)
pendapat ulama yang membolehkan hubungan nasab anak zina kepada ayah biologis
(Ibn Rusyd. Bidāyat al-Mujtahid, jld.
II, hlm. 268.).
Selain laporan sahabat, penulis tidak menemukan nas yang
menetapkan langsung nasab anak zina ditautkan kepada ibu, baik dari Alquran
maupun Sunah. Dari itu dapat disimpulkan bahwa penetapan nasab anak zina kepada
ibu bukan pensyariatan tersendiri (ibtidā’an),
demikian pula pada kasus li‘ān. Jika benar
pemberlakuan al-walad li al-firāsy pertama terjadi pada saat pembebasan
Mekah, berarti itu terjadi pada bulan Ramadan tahun 8 H (Ibn Hisyām. Sīrah
al-Nabī [Beirut: Dār
al-Fikr, t.th.], jld. IV, hlm. 3). Sedangkan ayat 6-10 surat al-Nūr turun
menjelang kasus li‘ān pertama, yaitu pada bulan Syakban
tahun 9 H (Al-Nawawī. Syarh Sahīh Muslim…, jld.
X, hlm. 112). Jadi pada saat li‘ān berlaku, penisbatan nasab anak tanpafirāsy kepada ibu sudah berlaku, lalu
diberlakukan pula sebagai konsekuensi bagi anak yang ditolak nasabnya oleh ayah li‘ān.
Jika ditautkannya nasab kepada ibu merupakan akibat pemberlakuan al-walad
li al-firāsy, maka ia bukanmaqāsid,
tapi konsekuensi dari ketetapan lain. Dari itu tidak bisa ditemukan tujuan al-Syāri‘ dalam hal ini. Lalu apakah konsekuensi
ini tidak bertentangan dengan maqāsid al-Syāri‘ tentang pemeliharaan keturunan?
Pertentangan dapat diilustrasikan karena ayat 5 surat al-Ahzāb memerintahkan
agar anak dipanggil berdasar nasab kepada ayah biologisnya, kecuali jika
ayahnya tidak diketahui.
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا
أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا (5)
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka: itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [5]. (Q.S. al-Ahzāb [33]: 5.
Sedangkan di zaman sekarang teknologi memungkinkan untuk
mengetahui ayah biologis seseorang, jadi untuk anak zina bisa dibuktikan siapa
ayah biologisnya.
Penulis melihat eksistensi masing-masing aturan ini berdiri
sendiri, lalu esensi darinya dijeneralisasikan menjadi maqāsid al-‘āmmah yang berupa al-qiyam al-wasīliyyah dan al-qiyam al-ghā’iyyah.
Bagi penulis, ayat 5 surat al-Ahzāb berbicara dalam konteks anak angkat, bukan
dalam konteks percampuran nasab. Jadi perintah dalam ayat ini tidak
bertentangan dengan tujuan pemeliharaan keturunan, malah menjadi bagian dari
sarana yang mendukung tujuan ini. Demikian pula pengharaman zina, ia juga salah
satu sarana yang mendukung tujuan pemeliharaan keturunan. Namun secara
partikular, zina dilarang karena mafsadat yang dikandungnya secara dhātī (Abū Zahrah. Ahmad
ibn Hanbal [Beirut:
Dār al-Fikr, t.th.], hlm. 319).
Menurut ‘Abd al-Mālik Mansūr, tepat Alquran menyebut zina
sebagai perbuatan keji dan jalan yang buruk, sebab zina mengandung banyak
keburukan:
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (32)
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (Q.S.
al-Isrā’ [17]: 32)
Untuk individu, zina menjadi sebab permusuhan, bahkan
pembunuhan, zina juga berakibat merusak kehormatan, menimbulkan penyakit
kelamin, dan menghilangkan garis keturunan. Dalam konteks kemasyarakatan, zina
mengakibatkan hilangnya sikap saling percaya antara suami dan isteri. Di sisi
lain zina menggoyahkan kasih sayang orang tua terhadap anak-anak mereka, karena
keraguan atas nasab anak. Lebih jauh zina membuat kehidupan manusia menjadi
seperti binatang (‘Abd al-Mālik Mansūr. Jarīmah al-Zinā wa Ahkāmuhā fī al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah [Kairo: Dār al-Nūr wa al-Amal, 1985],
hlm. 6-7).
Larangan zina sebagai taklīf dari al-Syāri‘ bersifat ta‘abbud,
hal ini menutup peluang untuk membolehkannya jika tidak berakibat pada rusaknya
nasab. Kalau pun zina dilihat sebagai wasā’il, tapi bukan wasā’il yang boleh diruntuhkan. Dari itu
penulis tidak sependapat dengan butir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
menetapkan adanya hubungan perdata antara anak yang dilahirkan di luar
perkawinan dengan ayah biologis (tanpa firāsy).
Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bernomor
46/PUU-VIII/2010, pada halaman 37, memuat lima butir putusan yang mana butir
ketiga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”, tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”;
Terlihat butir putusan itu berpijak pada asumsi bahwa pertautan
nasab anak zina kepada ibu dilakukan karena sulitnya pembuktian akibat
keterbatasan teknologi di masa tasyrī‘. Padahal tujuan al-Syāri‘ adalah penetapan hubungan yang sah
secara syarak (firāsy)
sebagai dasar nasab. Jadi asumsi yang mendasari putusan MK ini adalah ma‘nā al-munāsib al-gharīb dari jenis yang bertentangan dengan
syarak (mulghā).
Jika diteruskan asumsi di atas akan meningkat, bahwa zina
dilarang karena mengakibatkan ketidakjelasan nasab. Lalu logikanya dapat
dibalik, jika ketidakjelasan nasab bisa dihindari, maka zina menjadi boleh.
Logika seperti ini tidak bisa dibenarkan, karena berkonsekuensi pada pembatalan
syariat nikah dan keharaman zina. Dari sudut pandang teori maqāsid,
tertautnya nasab anak zina kepada ibu merupakan penyempurna (al-mukammil) bagi al-darūriyyah pensyariatan nikah. Menurut Ibn
Najjār, makna keberadaannya sebagai al-mukammil ialah ketidakmandiriannya sebagai
bagian dari darūriyyah. Al-Mukammil ini tercakup dalam darūriyyah karena tuntutan kebutuhan pemeliharaan
ekstra (mubālaghah)
terhadap darūriyyah. (Ibn
al-Najjār. Syarh al-Kawkab al-Munīr, tahkik: Muhammad al-Zuhaylī
[Riyad: Maktabah al-‘Ubaykān, 1993], jld. IV, hlm. 163).
Dalam hal ini Al-Qawā‘id al-maqāsidiyyah menyatakan:
كل
مكمل عاد على أصله بالنقض فباطل.
“Setiap penyempurna yang meruntuhkan asalnya adalah batal.”
(Lihat: Muhammad Sa‘ad ibn Ahmad ibn Mas‘ūd al-Yūbī. Maqāsid
al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Riyad:
Dār al-Hijrah, 1998), hlm. 456.)
Maka nasab anak zina kepada ayah biologis seperti putusan MK
harus dibatalkan karena ternyata meruntuhkan asl, yaitu meruntuhkan
hukum haramnya zina. Wallahu a‘lam bissawab.
Komentar
Posting Komentar