Nafkah Anak Zina
Pertanyaan
yang akan dikaji adalah: apakah nafkah anak zina boleh dibebankan kepada ayah
biologisnya? Jika nasab anak zina kepada ibu merupakan konsekuensi dari
pemberlakuan al-walad li al-firāsy,
dan nasab tidak berhubungan langsung dengan masalah nafkah, lalu siapa yang
bertanggungjawab atas nafkah anak zina? Pertama, harus
digarisbawahi bahwa nasab disyariatkan dalam lingkup tujuan pemeliharaan
keturunan (hifz al-nasl).
Sedangkan nafkah termasuk dalam tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs), keduanya
merupakan maqāsid dari nilai-nilai dasar (al-qiyam al-wasīliyyah)
yang berbeda. Kedua, perlu diingat
bahwa kewajiban nafkah dipahami berdasar kebiasaan yang diterima masyarakat (‘urf). dalam arti dipulangkan
kepada fitrah (al-wāzi‘ al-jibillī),
sedangkan nasab berdasar firāsy diatur oleh pemeliharaan berdasar
ketetapan agama (al-wāzi‘ al-dīnī).
Dilihat
dari perspektif tujuan pemeliharaan keturunan (hifz al-nasl), menurut Yūsuf al-Qaradāwī,
Islam tidak membolehkan seseorang mengingkari keturunannya karena dapat
menimbulkan mudarat bagi isteri dan anaknya. Tetapi jika diyakini telah terjadi
pengkhianatan, maka Islam memberlakukan li‘ān sebagai solusi. Menurut al-Qaradāwī,
syariat Islam juga tidak membiarkan seseorang mengasuh anak yang diyakini bukan
keturunannya sendiri (Al-Qaradāwī. Al-Halāl wa al-Harām,
hlm. 196).
Bagi
penulis, pensyariatan nikah dan li‘ān menunjukkan sisi realis dan sifat
moderatnya ajaran Islam dalam hal nasab. Sebab dengan nikah seseorang tidak
bisa mengingkari keturunannya, dan jika ia dikhianati, ia diberikan jalan
keluar lewat li‘ān. Jadi cukup realis
jika nasab anak tidak ditautkan pada orang yang malah menolaknya. Di sisi lain
dalam konteks hubungan sosial, Rasulullah dengan keras mengancam orang yang
berani menuduh anak li‘ān sebagai anak zina.
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ قَالَ وَذَكَرَ عَمْرُو
بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَلَدِ الْمُتَلَاعِنَيْنِ أَنَّهُ يَرِثُ أُمَّهُ
وَتَرِثُهُ أُمُّهُ وَمَنْ قَفَاهَا بِهِ جُلِدَ ثَمَانِينَ وَمَنْ دَعَاهُ وَلَدَ
زِنًا جُلِدَ ثَمَانِينَ.
Dari
‘Amrū ibn al-‘Ās, ia berkata: Rasulullah menetapkan tentang anak li‘an, bahwa
ia mewarisi ibunya, dan ia diwarisi oleh ibunya. Barangsiapa yang menuduhnya
anak zina, maka orang itu dicambuk delapanpuluh kali.
(Ahmad. Musnad Imam Ahmad, musnad
‘abd Allāh ibn ‘Amrū ibn al-‘Ās).
Jadi
seorang anak yang hanya punya nasab kepada ibu tidak boleh dikucilkan. Bahkan
al-Qurtubī meriwayatkan, bahwa seorang anak li‘ān dalam masyarakat muslim malah sempat
menjabat sebagai gubernur di Mesir walau ia sendiri tidak kenal siapa ayahnya
(Al-Qurtubī. Al-Jāmi‘…, jld. XII, hlm.
151).
Jika
pada li‘ān nasab
anak ditautkan pada ibu akibat penolakan ayahnya, lalu bagaimana pada zina?
Penulis melihat satu-satunya perbedaan hanyalah penolakan, sementara pada zina,
tidak ada pengakuan. Bagi penulis, penolakan dan tidak ada pengakuan sama-sama
berujung pada putusnya hubungan nasab kepada ayah biologis. Maka secara alamiah
tanggung jawab terpundak pada ibu. Tetapi ini tidak otomatis bisa diartikan
sebagai kezaliman terhadap anak dan ibunya. Sebab sebagaimana dinyatakan oleh
Satria Effendi, filosofi nafkah anak adalah kebutuhan, sementara kewajiban
terhadap ayah berkaitan dengan kemampuan ekonomi si ayah (Satria Effendi. Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisa Yurisprudensi dengan Pendekatan
Ushuliyah, cet. III [Jakarta: Kencana, 2010], hlm. 159).
Terkait
dengan masalah nafkah anak kandung, al-Qurtubī mengangkat beberapa pendapat.
Jika dalam suatu kasus seorang ayah meninggal dunia, sementara anak tidak
memiliki harta sendiri untuk membiayai hidupnya, lalu siapa yang membiayainya?
Menurut mazhab Mālik, si ibu wajib menanggung penyusuan si anak, tapi tidak
nafkah lainnya. Salah seorang pengikut mazhab Mālik berpendapat bahwa penyusuan
dan nafkah menjadi tanggung jawab baitul mal. Sementara menurut mazhab
al-Syāfi‘ī, penyusuan menjadi tanggung jawab ayah, atau kakek dan seterusnya
(Al-Qurtubī. Al-Jāmi‘, jld. III, hlm.
140).
Bagi
penulis, pendapat para yuris yang diangkat al-Qurtubī merupakan contoh tentang
bagaimana nafkah anak dipahami dalam realitas masyarakat di mana pendapat itu
difatwakan. Hal yang harus diperhatikan di sini adalah maqāsid al-Syāri‘ dalam masalah nafkah anak, bahwa
intinya jangan sampai melanggar tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs). Penulis
yakin, Islam tidak membuat penetapan detil dalam masalah ini karena adanya
perbedaan kebiasaan antar satu dan lain daerah, dan antara satu masyarakat
dengan masyarakat lain.
Untuk
konteks kehidupan sosial di Indonesia, penulis mengandaikan Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagai representasi ‘urf yang berlaku di Indonesia, atau
setidaknya ia menjadi nilai yang dianut Mahkamah Konstitusi (MK). Merujuk butir
[6.6] ALASAN BERBEDA (CONCURING
OPINION), penulis menangkap dianutnya satu nilai khusus (al-qiyam al-khāssah),
bahwa nafkah anak merupakan kewajiban secara heteronom (tab‘ī) bagi ayah
biologis.
Berangkat
dari nilai ini, maka kewajiban bapak biologis yang tidak bisa dituntut dilihat
sebagai ‘tindakan yang merugikan anak.’ Lalu dikaitkan secara kausal dengan
keterputusan nasab sehingga sampai pada konklusi; bahwa tautan nasab kepada ibu
bertentangan dengan nilai utama (al-qiyam
al-ghā’iyyah), yaitu maslahat itu sendiri, sebab merugikan adalah
mafsadat yang menyalahi prinsip keadilan. Dari itu terlihat seolah-olah cukup
logis ketika dikaitkan dengan prinsip Islam lainnya, bahwa tidak pada tempatnya
jika anak harus menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kedua orang
tuanya, sebab Islam tidak mengenal istilah “dosa turunan.”
Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bernomor 46/PUU-VIII/2010, pada halaman
43, butir [6.6], paragraf pertama baris 2-5 berbunyi: “…. Potensi kerugian bagi
anak yang terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung
(bapak biologis)-nya, yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya
kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak
keperdataan lainnya. …”
Paragraf
kedua baris 5-12 berbunyi: “…Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan yang
tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974,
tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang
ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap
sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama
Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan
yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa
turunan.”
Bagi
penulis penalaran seperti ini masih bersifat atomistik, karena menggunakan
silogisme yang berpijak pada dekomposisi. Proposisi yang digunakan sebagai
anteseden adalah; 1) Setiap anak wajib dinafkahi oleh ayah biologisnya, 2) anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah adalah anak secara biologis, lalu
konklusinya adalah; 3) maka anak yang lahir di luar perkawinan yang sah wajib dinafkahi
oleh ayah biologis.
Proposisi
pertama bisa dibenarkan secara syarak, karena masalah nafkah anak dipulangkan
kepada pemeliharaan berdasar fitrah manusia (al-wāzi‘ al-jibillī).
Jadi ia dipahami berdasar ‘urf di mana manusia diciptakan memiliki
ikatan batin dengan anak sebagaimana bunyi ayat :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ
وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wnita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (syurga). (Q.S.
Ali Imrān [3]: 14)
Tetapi
proposisi kedua tidak bisa dikatakan valid secara syar‘ī,
sebab konsepsi anak menurut syariat Islam hanya benar dalam konteks firāsy.
Jadi keberlakuan al-‘illah pada proposisi yang kedua telah
dibatalkan oleh syariat (mulghā).
Karena salah satu proposisinya batal, maka konklusi ini tidak valid secara
syarak, ini tergolong sofistik (safsatah).
Oleh karena itu masalah ini harus didekati secara integratif agar analisa
berjalan secara holistik.
Dari
sudut pandang maqāsid al-syar‘iyyah,
menautkan nasab anak zina pada ayah biologis adalah maqāsidal-khalq yang bertentangan dengan syariat (mulghā). Tetapi
membebankan nafkah anak zina kepada ayah biologis tanpa menautkan nasab, dapat
dinyatakan sebagai maqāsid al-khalq yang boleh dilakukan (mu‘mal). Khususnya dalam
kondisi sosial yang cederung berubah individualistik, baitul mal yang tidak
berjalan baik, dan kebutuhan yang bukan lagi sekedar untuk bertahan hidup. Ini
adalah al-maslahat al-gharībah,
Ibn ‘Āsyūr menyebutnya al-maslahat al-zannīyyah,
sebab tidak ada nas yang menentang dan tidak ada kaidah umum yang menaunginya.
Maslahat
ini tetap dalam kondisi gharīb, sebab nas hanya
berbicara tentang nafkah anak kandung, jadi tidak ada jalan bagi kias. Demikian
pula kaidah umum hanya membuka peluang pada tataran darūrah,
sedangkan kasus nafkah ini tidak sampai ke tingkat darurat. Pendekatan ini juga
harus dikoneksikan dengan metode dan temuan ilmu pengetahuan modern. Bagi
penulis, metode keilmuan modern sudah harus dilibatkan sejak pencarian nilai
maslahat yang dianut masyarakat. Adapun dalam hal penetapan ayah biologis yang
memikul tanggung jawab nafkah, digunakan pendekatan interkonektif dengan
ilmu-ilmu yang relevan. Hal ini dimungkinkan karena teknologi telah dapat
membuktikan hubungan darah seseorang dengan ayah biologisnya. Wa Allāh a‘lām bi al-sawab.
Komentar
Posting Komentar