Pengertian Maqāsid al-Syarī‘ah

Kata maqāsid al-syarī‘ah lazim digunakan usūliyyūn sebagai istilah untuk menyebut sebuah konsep tentang tujuan syariat.[1] Mereka sepakat bahwa al-maslahat al-mursalah tercakup dalam tujuan syariat di samping al-maslahat al-mu‘tabarah. Namun merujuk pemikiran Imam al-Ghazzālī (w. 505 H/1111 M), ia menggunakan terminologi maqsūd al-syar‘ dan maqāsid al-khalq sebagai dua hal yang berlawan-an sehingga terkesan dikotomis. Bagi al-Ghazzālī maqāsid bersifat spekulatif.
Secara kebahasaan, kata maqāsid merupakan bentuk jamak dari kata maqsid yang berarti tempat tujuan. Kata maqsid berasal dari kata qasd, (qasada, yaqsidu, qasd, fahuwa qāsid). Ibn Manzūr memaknai kata qasd dengan arti; tetap pada jalan (istiqāmat al-tarīq) sebagaimana dalam firman Allah dalam ayat 9 surat al-Nahl: “Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus…,” artinya, ajakan dengan hujah dan dalil-dalil yang jelas. Selain makna di atas, kata qasd juga berarti adil (‘adl), atau sikap pertengahan (i‘tidāl), yaitu kebalikan dari sikap melampaui batas (ifrāt), seperti sikap pertengahan antara boros (isrāf) dan kikir (taqtīr).[2]
Dari makna kebahasaan ini, dapat dipahami bahwa kata maqsid berarti arah (hadf), atau tujuan akhir (ghāyah) yang dibutuhkan untuk bisa tetap (istiqāmah) di jalan yang ditempuh, ia juga berarti adil (‘adl), dan sikap pertengahan (i‘tidāl). Selanjutnya makna kebahasaan ini tidak lepas dalam penggunaannya sebagai istilah khusus di kalangan usūliyyūn, yaitu sesuatu yang dituju di balik perbuatan.[3]
Ada pun kata al-syarī‘ah berasal dari syara‘a, yasyra‘, syar‘, wa syurū’. Secara etimologis berarti jalan (al-tarīqah), yaitu jalan yang ditempuh menuju sumber air untuk diminum.[4] Secara terminologis, kata al-syarī‘ah berarti jalan yang lurus yang diridhai Allah bagi hamba-Nya, dan aturan hukum sebagai tatanan bagi hamba-Nya.[5]
الشريعة: هي المنهج المستقيم الذي ارتضاه الله لعباده ومورد الأحكام المنظمة له
Lebih ringkas, ‘Alī al-Tahānuwī (w. 1362 H/1943 M)[6] mendefinisikan al-syarī‘ah sebagai efek perintah yang memberikan pembebanan berupa ‘ubudiyyah.[7]
الشريعة: هي الإئتمار بالتزام العبودية
Gabungan (tarkīb idāfī) kedua kata di atas digunakan usūliyyūn sebagai istilah untuk menyatakan suatu objek yang merupakan temuan di balik ketetapan-ketetapan hukum syariat. Menurut Bin Zaghībah ‘Izz al-Dīn, penggunaan kata maqāsid ini bisa ditelusuri dalam pembicaraan tokoh semisal Imām al-Harāmayn al-Juwaynī (w. 478 H/1085 M), Abū al-Fadl Muslim ibn ‘Ali al-Dimasyqī (meninggal dalam abad ke lima hijrah), Abū ‘Imrān al-Fāsī (w. 430 H/1039 M), dan ‘Abd al-Haqq al-Saqalī (w. 466 H/1074 M).[8] Oleh karena itu pemahaman atas terminologi ini harus dilakukan dengan pencarian dalam kandungan pembahasan mereka.
Pembahasan maqāsid di abad klasik belum dilakukan secara mandiri, tapi sudah serius diperhatikan oleh tokoh seperti al-Ghazzālī dan al-Syātibī. Oleh karena itu, pada masa ini belum ada pendefinisian secara khusus, kecuali hanya konstruksi untuk konsep yang baru muncul kala itu. Menurut Bin Zaghībah, inilah salah satu alasan mengapa tidak ditemukan definisi yang memadai dari usūliyyūn abad klasik.[9]
Para peneliti yang mengkaji pemikiran Imam al-Ghazzālī menyatakan tidak ada definisi khusus darinya. Tetapi mereka sepakat adanya pembicaraan al-Ghazzālī yang dapat dijadikan petunjuk mengenai maqāsid dalam pemikirannya. Dalam kitab Syifā’ al-Ghalīl, Imam al-Ghazzālī menyatakan bahwa pemeliharaan maqāsid merupakan ungkapan yang mengandung arti melestarikan (maslahat), menolak hal-hal yang pasti (merusak), dan mewujudkan maslahat.[10]
فرعاية المقاصد عبارة حاوية للإبقاء ودفع القواطع والتحصيل على سبيل الأبتداء 
Sebagaimana usūliyyūn abad klasik lainnya, al-Syātibī tidak mendefinisikan maqāsid secara khusus, tapi cukup dipahami sebagai rahasia syariat (asrār al-syarī‘ah), al-hikmat al-tasyrī‘, al-ma‘nā al-munāsibah, al-‘illat al-ghā’iyyah.[11] Menurut al-Raysūnī, al-Syātibī tidak mendefinisikan maqāsid karena tulisannya didedikasikan sebagai kajian para pakar (al-rāsikhūn) dalam bidang ilmu syariat saja.[12] Bagi Bin Zaghībah, maqāsid al-syarī‘ah menurut al-Syātibī adalah menegak-kan kemaslahatan bagi mukallaf, duniawī dan ukhrawī, berdasar aturan yang men-jadikan mereka sebagai hamba Allah secara penuh kesadaran (ikhtiyāran).[13]
مقاصد الشريعة: هي إقامة مصالح المكلفين الدنيوية والأخروية على نظام يكونون به عبادا لله اختيارا كما هم اضطرارا.
Setelah al-Syātibī, teori maqāsid dikembangkan oleh Ibn ‘Āsyūr. Muhammad al-Tāhir ibn ‘Āsyūr merupakan orang pertama yang menyatakan kemandirian ilmu maqāsid, ia membedakan maqāsid al-syarī‘at al-‘āmmah dari maqāsid al-syarī‘at al-khāssah. Maqāsid al-syarī‘at al-‘āmmah adalah al-ma‘ānī dan al-hikmah yang menjadi perhatian bagi al-Syari‘ dalam semua penyariatan, atau dalam kebanyakan pensyariatan di mana keberadaan al-hikmah itu tidak hanya berlaku pada satu jenis hukum syariat tertentu secara khusus. Definisi ini dipertegasnya, bahwa ungkapan ini mencakup sifat-sifat syariat, tujuan-tujuan umum, dan al-ma‘nā yang selalu diperhatikan dalam setiap pensyariatan. Selain itu, juga mencakup al-ma‘nā dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dalam kebanyakan jenis pensyariatan.[14]
مقاصد التشريع العامة هي: المعانى والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها بحيث لا تختص ملاحضتها بالكون في نوع خاص من أحكام الشريعة
Pada bagian ketiga kitab Maqāsid al-Syarī‘at al-Islāmiyyah Ibn ‘Āsyūr mendefinisikan al-maqāsid al-khāssah; bahwa maqāsid al-syarī‘ah al-khāssah adalah cara-cara yang dimaksudkan oleh al-Syari‘ dalam memastikan tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum manusia dalam aktivitas mereka yang khusus.[15]
مقاصد الشريعة الخاصة: هي الكيفية المقصودة للشارع لتحقيق مقاصد الناس النافعة أو لحهظ مصالحهم العامة في تصرفاتهم الخاصة.
Di sini terlihat kecenderungan Ibn ‘Āsyūr untuk memilah pembahasan al-maqāsid al-‘āmmah, dari al-maqāsid al-khāssah. Sementara para ulama setelahnya cenderung menyatukan keduanya. 

Daftar Pustaka
Ahmad al-Raysūnī. Nazariyyat al-Maqāsid ‘ind al-Imām al-Syatibī. Herndon, USA: IIIT, 1995
Bin Zaghībah ‘Izz al-Dīn. Al-Maqāsid al-‘Āmmah li al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Safwah, 1996.
Al-Ghazzālī. Syifā’ al-Ghalīl; Bayān al-Syabah wa al-Mukhīl wa Masālik al-Ta‘līl. Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.
http://www.khanqah.org/books/p/233, akses 16 Agustus 2011.
Ibn ‘Āsyūr. Maqāsid al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Salām, 2005.
Ibn Manzūr. Lisān al-‘Arab. Kairo: Dār al-Hadīth, 2003.
Muhammad ‘Alī al-Tahānuwī. Mawsū‘ah Kasysyāf Istilāhāt al-Funūn wa al-‘Ulūm, tahkik: ‘Alī Dahrūj. Beirut: Maktabah Libnān, 1996.
Mustafā ibn Karāmat Allāh Makhdūm. Qawā‘id al-Wasā’il fī al-Syarī‘at al-Islāmiyyah; Dirāsat Usūliyyah fī Dū’ al-Maqāsid al-Syarī‘ah. Riyad: Dār Isybīliya, 1999.
Ziyād Muhammad Ahmīdān, Maqāsid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah. Beirut: al-Risālah, 2004.



[1] Sebagai contoh dapat dilihat dari beberapa buku, antara lain: 1) Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law; A System Approach, 2007; 2) Yūsuf al-Qaradawī, Dirāsah fī Fiqh Maqāsid al-Syarī‘ah; Bayna al-Maqāsid al-Kulliyyah wa al-Nusūs al-Juz’iyyah, 2006; 3) Ziyād Muhammad Ahmīdān, Maqāsid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, 2004; 4) Yūsuf Ahmad Muhammad al-Badawī, Maqāsid al-Syarī‘ah ‘ind Ibn Taymiyyah, 2000; 5) Muhammad Sa‘ad ibn Ahmad ibn Mas‘ūd al-Yūbī, Maqāsid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, 1998; 6) Bin Zaghībah ‘Izz al-Dīn, al-Maqāsid al-‘Āmmah li al-Syarī‘at al-Islāmiyyah, 1996.
[2] Ibn Manzūr. Lisān al-‘Arab (Kairo: Dār al-Hadīth, 2003), jld. VII, hlm. 377.
[3] Mustafā ibn Karāmat Allāh Makhdūm. Qawā‘id al-Wasā’il fī al-Syarī‘at al-Islāmiyyah; Dirāsat Usūliyyah fī Dū’ al-Maqāsid al-Syarī‘ah (Riyad: Dār Isybīliya, 1999), hlm. 34.
[4] Ibn Manzūr. Lisān..., jld. V, hlm. 82.
[5] Bin Zaghībah ‘Izz al-Dīn. Al-Maqāsid al-‘Āmmah li al-Syarī‘at al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Safwah, 1996), hlm. 39.
[6] Nama lengkapnya ‘Alī ibn Abd al-Haqq al-Tahānuwī, lahir 5 Rabiulakhir 1280 H/18 September 1863, di kota Thana Bhawan, Distrik Muzaffarnagar, Provinsi Uttar Pradesh, India. Lulus dari University of Dar al-‘Ulum, Deoband, pada tahun 1299 H/1882 M, ia ilmuwan produktif yang menulis sekitar delapan ratus karya, sekitar selusin di antaranya dalam bahasa Arab. Ia wafat di kota Thana Bhawan tanggal 16 Rajab 1362 H/18 Juli 1943 M. http://www.khanqah.org/books/p/233, akses 16 Agustus 2011.
[7] Muhammad ‘Alī al-Tahānuwī. Mawsū‘ah Kasysyāf Istilāhāt al-Funūn wa al-‘Ulūm, tahkik: ‘Alī Dahrūj (Beirut: Maktabah Libnān, 1996), jld. I, hlm. 1019.
[8] Bin Zaghībah. Al-Maqāsid al-‘Āmmah…, hlm. 40.
[9] Bin Zaghībah. Al-Maqāsid al-‘Āmmah…, hlm. 44.
[10] Al-Ghazzālī. Syifā’ al-Ghalīl; Bayān al-Syabah wa al-Mukhīl wa Masālik al-Ta‘līl (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), hlm. 79.
[11] Ziyād Muhammad Ahmīdān, Maqāsid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Beirut: al-Risālah, 2004), hlm. 16 dst.
[12] Ahmad al-Raysūnī. Nazariyyat al-Maqāsid ‘ind al-Imām al-Syatibī (Herndon, USA: IIIT, 1995), hlm. 17. 
[13] Bin Zaghībah. al-Maqāsid al-‘Āmmah…, hlm. 43.

[14] Ibn ‘Āsyūr. Maqāsid al-Syarī‘at al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Salām, 2005), hlm. 49.
[15] Ibn ‘Āsyūr. Maqāsid..., hlm. 142.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Kumpulan Kaidah Usūliyyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Paradigma Moderat Tafsir Kesetaraan Gender

Nuzulul Quran Penafsiran Ayat 185 Surat al-Baqarah