Teori Maqāsid; Membaca Pemikiran Tiga Tokoh
A.
Pendahuluan
Kemunculan dan perkembangan teori maqāsid tidak
lepas dari tangan dingin tiga tokoh besar yang mencurahkan segenap perhatiannya
bagi konstruksi teori ini. Pertama, Imam
al-Ghazzālī (w. 505 H/1111 M),[1] ia
melanjutkan cikal bakal teori maqāsid
yang dicetuskan gurunya, Imam al-Harāmayn
al-Juwaynī (w. 478 H/1085 M).[2]
Saat pertama kali dirumuskan, ia dibagi dalam lima kategori,[3]
lalu al-Ghazzālī mensistematisasikannya menjadi apa yang kita kenal sekarang
sebagai darūriyyāt,
hājiyyāt,
dan tahsīniyyāt.
Kedua, tokoh yang berjasa besar menjadikan teori maqāsid sebagai
topik pembahasan tersendiri, yaitu Imam al-Syātibī
(w. 790 H/1388 M).[4] Ia
membahas teori maqāsid
secara mandiri dalam kitabnya al-Muwāfaqāt, namun pembahasan ini belum lepas
dari ilmu Usūl
al-Fiqh. Ketiga, al-Imām Muhammad
al-Tāhir ibn
‘Āsyūr (w. 1394 H/1973 M),[5] ia
tokoh pertama yang memandirikan teori maqāsid menjadi satu bidang ilmu
tersendiri.
Ketiga tokoh ini dapat dikatakan pemikir yang jauh
melampaui masanya, sehingga pemikiran mereka terkesan tidak bisa diterima di
masa hidup mereka. Bahkan di zaman sekarang pun, penulis menangkap kesan
karya-karya mereka sulit dicerna. Terutama oleh mahasiswa peminat kajian ilmu maqāsid yang
membaca karya-karya tokoh ini di bawah bayang-bayang ilmu usūl al-fiqh.
Berpijak dari kenyataan di atas, tulisan ini mencoba
memberi perspektif pandangan yang agak berbeda terhadap karya ketiga tokoh ini,
dengan merunut benang merah yang menghubungkan semua karya itu. Dalam hal ini,
penulis menempatkan karya al-Ghazzālī sebagai pembuka pintu bagi kajian teori maqāsid, lalu
karya al-Syātibī
memperkokoh strukturnya, dan karya ‘Āsyūr menegakkannya sebagai ilmu mandiri.
Pemilihan ketiga tokoh ini tidak bermaksud menafikan
sumbangsih tokoh-tokoh lain, tetapi keterbatasan ruang mengharuskan penulis
menentukan pilihan. Dalam pandangan penulis, ketiga tokoh ini merupakan tonggak
perkembangan, sebab fase-fase perkembangan teori maqāsid dapat
dinisbatkan kepada teori mereka. Peralihan dari satu fase ke fase lain dapat
dibedakan dari temuan brilian, dan keberanian mereka melawan arus.
B.
Pembahasan
Seperti disebutkan di atas, membaca pemikiran ketiga tokoh ini tidak
mudah, apalagi jika membawa serta harapan pribadi, atau asumsi yang bersumber
dari bacaan lain. Para pembaca karya
al-Ghazzālī akan menangkap adanya kontradiksi dalam pemikiran al-Ghazzālī,
bahkan al-Syātibī sempat mengkritik, bahwa al-Ghazzālī tidak konsisten. Al-Syātibī menilai
adanya perbedaan sikap al-Ghazzālī dalam kitab al-Mustasfā dan Syifā’
al-Ghalīl. Ia mengatakan, dalam kitab al-Mustasfā al-Ghazzālī
menolak al-maslahat al-mursalah
pada tingkat hājiyyah,
namun dalam kitab Syifā’ al-Ghalīl yang disusun sebelumnya, al-Ghazzālī menerimanya.[6]
Bagi penulis, sikap al-Ghazzālī justru memperlihatkan konsistensinya, yaitu
konsisten terhadap paradigma teosentris yang memang sangat kuat mengikat di
masa itu. Itulah kenapa ia mendefinisikan usūl al-fiqh sebagai ilmu tentang
cara petunjukan nas kepada hukum (al-‘ilm bi wujūh dilālat al-nass ’alā al-ahkām).[7]
Jadi usūl
al-fiqh di mata al-Ghazzālī, benar-benar menganut metode bayānī.
Bahkan penerimaan terhadap al-qiyās sebagai bagian dari ilmu usūl al-fiqh
pun didasarkan atas anggapan bahwa qiyās bersifat determinan (tawqīfī).
Artinya dianggap masih mengikuti sifat syariat yang merupakan aturan yang telah
ditentukan Allah, sebab seluruh syariat merupakan ketentuan yang telah
ditetapkan Allah.[8] Sistem
operasional qiyās yang merujuk kepada nas tertentu (asl mu‘ayyan),
membuatnya memiliki metodologi yang memadai untuk menyatakannya tawqīfī.
Tuntutan metodologis berdasar asumsi tawqīfī ini, menyebabkan al-munāsib
al-mursal dipandang tidak memenuhi syarat sebagai asl bagi qiyās,
sehingga harus dioperasionalkan lewat metode al-istislāh. Dari itu
al-Ghazzālī menyatakan, bahwa ini tidak dinamakan qiyās, tapi al-maslahat al-mursalah.
Sebab qiyās berpijak pada rujukan tekstual nas (asl mu‘ayyan),
sedangkan al-maslahat al-mursalah
bukan berdasar satu dalil, tapi disimpulkan dari dalil yang tak terbatas. Dalam
hal ini, al-Ghazzālī menyatakan sikapnya, bahwa apabila maslahat ditafsirkan
sebagai memelihara maqāsid
al-syarī‘ah, maka
tidak ada jalan untuk menolaknya, dan ia wajib diikuti, bahkan dapat dipastikan
menjadi hujah.[9]
Sungguh sangat mengagumkan, al-Ghazzālī yang hidup di tengah iklim akademik
yang menganut paradigma teosentris, dan diikat tradisi literal Syāfi‘iyyah,
justru bisa menerima kehujahan maqāsid.
Dalam hal ini, penulis setuju dengan kesimpulan Sa‘īd Ramadān al-Būtī, bahwa pada dasarnya al-Ghazzālī
menerima maslahat (al-istidlāl al-mursal), yang ia tolak hanya
pernyataan kemandirian al-istidlāl al-mursal sebagai metode istinbat
tersendiri.[10] Dari
contoh yang ia kemukakan, terlihat bahwa metodologi maslahat dianggapnya
kembali kepada tarjih maslahat.[11]
Jadi penolakan ini, lebih karena kala itu belum ditemukan metodologi yang dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga ia mengatakan “man istaslāha faqad syara‘a.”
Gagalnya ditemukan metodologi untuk al-maslahat al-mursalah
bukan permasalahan sederhana, sebab al-Ghazzālī (w. 505 H/1111 M) dikurung oleh
zamannya dalam paradigma teosentris. Namun keberanian al-Ghazzālī menyatakan
kehujahan al-maslahat al-mursalah,
memberi sugesti bagi penerusnya, walau harus menunggu sekian lama. Dari itu
‘Abd Allāh Darrāz berasumsi, bahwa al-Syātibī
(w. 790 H/1388 M) menyusun kitabnya karena terinspirasi oleh pemikiran
al-Ghazzālī.[12] Mungkin
hal inilah yang mendorong Khalid Masud berkesimpulan, bahwa kerja keras al-Syātibī adalah upaya
pembebasan hukum Islam dari determinisme teologis.[13]
Namun di sisi lain, kerja keras al-Syātibī
justru menggeser poros ilmu usūl
al-fiqh, hal yang kebanyakan tidak disadari oleh pembaca karyanya.
Satu hal yang perlu diperhatikan, dalam mukadimah pertama kitab al-Muwāfaqāt-nya,
al-Syātibī
menggunakan kata usūl
al-fiqh untuk teori maqāsid,
dan ia mengatakan usūl
al-fiqh itu qat‘ī.[14]
Pembaca bisa terjebak dalam kebingungan, sebab pernyataan itu menuntun pikiran
pembaca kepada usūl
al-fiqh yang kerangka metodologinya dibangun berdasar pendekatan bayānī
terhadap nas. Dan usūl
al-fiqh yang terlanjur identik sebagai nama bagi metode bayānī itu,
tidak bisa mencapai derajat qat‘ī
sebagaimana yang ia ditunjukkan al-Syātibī
dalam al-Muwāfaqāt. Biasanya, iklim bayānī ini ikut terbawa saat
seseorang menelaah kitab al-Muwāfaqāt, padahal al-Syātibī sudah tidak
bicara usūl
al-fiqh konfensional lagi, ia justru bicara teori maqāsid yang
mencapai derajat qat‘ī
berdasar istiqrā’ kullī.
Melalui metode istiqrā’ (induksi) al-Syātibī telah berhasil menjawab
kebutuhan metodologis bagi al-maslahat al-mursalah
yang sebelumnya dipandang nisbi oleh al-Ghazzālī. Sebenarnya, keberhasilan al-Syātibī terletak pada
keberaniannya menggeser paradigma, atau setidaknya ia telah mengurangi
determinisme teologis dalam paradima teosentris yang dianutnya. Lalu apa yang
membuat al-Syātibī
berani menempuh langkah ini? Ternyata al-Syātibī
termotivasi mendobrak iklim akademik pada masanya, di mana tasawuf -secara
mengkhawatirkan- telah berpengaruh langsung terhadap fikih dan usūl al-fiqh.[15]
Di sisi lain, pekerjaan besar al-Syātibī
berimplikasi bagi pergeseran poros ilmu usūl al-fiqh. Sebelumnya, ilmu usūl al-fiqh
berporos pada rujukan tekstual (asl
mu‘ayyan), lalu ia menggesernya kepada rujukan kaidah umum syariat (al-usūl al-syarī‘ah) yang katanya
dilupakan oleh kebanyakan ulama terdahulu.[16]
Oleh karena itu sebagian besar isi kitabnya, al-Muwāfaqāt, merupakan
usaha mendudukkan usūl
al-fiqh secara proporsional, agar standar rujukan tekstual yang bersifat
relatif tidak bisa diperalat lagi oleh mistikus.
Al-Syātibī
merumuskan teori baru, bahwa maslahat dapat ditemukan secara pasti dari istiqrā’
terhadap nas, maka ia menawarkan pendekatan baru yaitu kembali kepada kaidah
umum syariat (rujū‘ ilā usūl
al-syarī‘ah). Teori
ini menggantikan teori lama yang dipakai al-Ghazzālī, bahwa maslahat hanya
dapat ditemukan dari nas partikular, pendekatan yang dipakai adalah kembali
kepada nas tertentu (rujū‘ ilā asl
mu‘ayyan). Dari pernyataan al-Ghazzālī di atas, terlihat bahwa sejak
dari masa hidupnya, teori ini telah menghadapi anomali, sehingga tidak bisa
memberi solusi bagi al-maslahat al-mursalah,
dan al-maslahat al-gharīb.
Lalu teori al-Syātibī
menawarkan jawaban sehingga al-maslahat al-mursalah
dapat dimasukkan dalam lingkup al-maslahat al-mu‘tabarah,
namun al-maslahat al-gharīb
tetap belum terselesaikan oleh teori al-Syātibī.
Hal ini bisa dilihat pada contoh al-munāsib al-gharīb yang
dikutip oleh al-Ghazzālī dan juga al-Syātibī,
yaitu kasus menghalangi mantan isteri dari hak mewarisi. Seorang suami dalam
masa sakit menjelang ajal mentalak isterinya sehingga tidak memperoleh warisan.
Maka ditetapkan, bahwa si isteri tetap mendapat warisan. Ini dipandang sebagai
ketetapan yang berlawanan dengan maksud si suami dengan cara di-qiyās
kepada kasus orang yang membunuh karena ingin segera mendapat warisan, di mana
ketentuan ini ditetapkan berdasar hadis.[17]
Pembunuh menjadi terhalang dari mewarisi karena dihukum dengan kebalikan
maksudnya, maka demikian pula pada kasus talak.
Bagi al-Ghazzālī, pen-ta‘līl-an ini tetap tinggal dalam kondisi gharīb
karena tidak ditemukan adanya pengakuan syar‘ atas jenis ma‘nā munāsabah
ini. Artinya, tidak ditemukan penggunaan al-‘illah jenis ini oleh syarak
pada kasus-kasus yang lain.[18]
Sementara bagi al-Syātibī,
hadis itu tidak bisa menjadi kaidah umum karena tidak punya syarat untuk di-istiqrā’.
Dari itu al-Syātibī
tidak bisa menolak peristinbatan yang mengikuti zann seperti ini selama ada
dalil,[19]
yaitu dalil nas yang zannī.
Penulis berasumsi, al-Syātibī
tidak tuntas masuk ke wilayah ini karena terlalu fokus pada penguatan teori al-usūl al-syarī‘ah.
Sebagaimana tergambar dalam pembahasan kitabnya, obsesi al-Syātibī adalah
mendasarkan hukum kepada pijakan yang pasti (qat‘ī). Dari itu
ia menyatakan dalam mukadimah ketiga, bahwa dalil-dalil yang diakui (mu‘tabar)
adalah dalil-dalil zanniyyah
yang terhimpun menjadi ma‘nā yang satu (istiqrā’).[20]
Hal inilah yang kemudian dikritik oleh ‘Āsyūr, karena menurut Ibn ‘Āsyūr, ungkapan
ini menimbulkan kebingungan dalam memahami teori yang dikemukakan al-Syātibī.[21]
Padahal menurut Ibn ‘Āsyūr, kebanyakan istinbat justru bergantung kepada zann.[22]
Berkonsentrasinya al-Syātibī
pada peralihan usūl
al-fiqh ke rujukan kaidah umum syariat (al-usūl al-syarī‘ah), menjadikan
pembahasan kitabnya tersita untuk kajian maqāsid al-syarī‘ah dalam nas-nas syariat. Jadi
kurang menyentuh wilayah aplikasi teori maqāsid-nya terhadap masalah hadīthah.
Namun begitu, al-Syātibī
telah berhasil meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi penerapan teorinya kepada
masalah baru yang tidak ada nasnya. Misalnya dalam kitāb maqāsid, pada
masalah kelima bagian keempat (naw‘ al-rābi‘: maqāsid wad‘ al-syarī‘ah lil imtithāl), ia
menyatakan bahwa mendasarkan perbuatan kepada maqāsid al-asliyyah -biasanya-
menempatkan hukum pada tataran wajib. Adapun mendasarkan perbuatan kepada maqāsid al-tābi‘ah,
biasanya menempatkan hukum pada tataran boleh (ibāhah).[23]
Wilayah yang ditinggalkan kosong oleh al-Syātibī itu kemudian diisi oleh
al-Syaikh Muhammad
Tāhir ibn
‘Āsyūr. Pemikirannya juga tidak mudah untuk dicerna oleh pembaca karyanya. Ia
menyatakan bahwa kajiannya bukan hanya untuk memahami maqāsid pada nas,
tapi agar dapat menetapkan hukum pada masalah yang belum ada contoh kasusnya di
masa tasyrī‘.[24] Pernyataan
ini cenderung dipahami bahwa karya ‘Āsyūr merupakan lanjutan, atau bentuk
implementasi dari teori al-Syātibī.
Tapi sebenarnya apa yang dilakukan Ibn ‘Āsyūr tidaklah sederhana, sebab ia
keluar dari paradigma kedua pemikir sebelumnya.
Perubahan paradigma ‘Āsyūr sudah terlihat sejak dari peristilahan yang ia
pakai. Jika al-Syātibī
memakai istilah tujuan utama (maqāsid
al-asliyyah), dan tujuan
pendukung (maqāsid
al-tābi‘ah),[25] ‘Āsyūr
justru memakai istilah tujuan umum (maqāsid al-‘āmmah),[26]
dan tujuan khusus (maqāsid
al-khāssah).[27]
Menyimak wacana tentang maqāsid
al-‘āmmah, jelas tidak bisa dipungkiri bahwa maqāsid al-syarī‘ah pada tataran maqāsid al-‘āmmah
bersifat pasti, sehingga menjadi dalil terkuat.[28]
Adapun maqāsid
al-khāssah,
Ibn ‘Āsyūr membaginya menjadi maqāsid bagi al-Syāri‘, dan maqāsid bagi manusia. Lalu maqāsid bagi manusia dibaginya lagi dalam dua
tingkat. Tingkat tertinggi berada pada tatanan kemasyarakatan (ijtimā‘iyyah),
dan pada tingkat di bawahnya adalah hal-hal yang terkait dengan sekelompok
orang, atau individu. Kedua tingkatan maqāsid ini juga terpilah lagi dalam hal yang terkait dengan
hak Allah, dan hal yang terkait dengan hak-hak sesama manusia.[29]
Pembahasan ini dikemas dalam bingkai maqāsid-wasā’il.
Jika dibandingkan, bagian ini
merupakan al-maslahat al-mursalah,
yang oleh al-Ghazzālī disebut sebagai maslahat yang tidak memiliki persaksian
syarak (asl mu‘ayyan),
tapi sesuai dengan kebiasaan syarak.[30] Dalam hal ini, Ibn ‘Āsyūr sepakat dengan al-Ghazzālī.
Ia menyatakan al-maslahat al-mursalah
adalah maslahat yang tidak ada ketentuan hukumnya dari syarak, dan tidak ada
bandingan yang sesuai untuk bisa di-qiyās. Ibn ‘Āsyūr menamsilkannya
seperti kuda lepas.[31]
Ibn ‘Āsyūr berteori, bahwa al-maslahat al-mursalah merupakan bagian yang
tidak butuh penjelasan (qawl). Sebab yang butuh qawl
hanyalah dalam pembatalan wahm, menjawab pertanyaan, atau mencegah
sesuatu.[32]
Sedangkan al-maslahat al-mursalah
merupakan bagian yang didiamkan syarak sebagai rahmat.[33] Sampai
di sini terlihat bahwa ‘Āsyūr memadukan teori al-Ghazzālī dan al-Syātibī, tapi keluar
dari paradigma kedua tokoh ini. Lalu bagaimana dengan al-maslahat al-gharīb
yang dibolehkan al-Syātibī
bagi orang yang yakin dengan zann?[34]
Ibn ‘Āsyūr memiliki sikap yang jelas dan sistematis dalam menyikapi al-maslahat al-gharīb.
Ia melihat kebanyakan hukum syarak berada pada tingkat ibāhah. Artinya,
-secara umum- diamnya syarak dipahami sebagai pengakuan (taqrīr),
kecuali pada kondisi di mana akal menunjuki kemungkinan terhubungnya suatu
kasus dengan asl
tertentu. Bagi kasus seperti ini, ketentuan hukumnya bukan ibāhah, dan
merupakan petunjukan dari qiyās dengan segala pertingkatannya.[35]
Kondisi ini dapat dilihat pada kasus al-munāsib al-gharīb yang
dicontohkan al-Ghazzālī dan al-Syātibī
tentang kasus orang yang mentalak isterinya pada saat sakit menjelang ajal.
C.
Penutup
Pandangan Ibn ‘Āsyūr yang menyatukan teori al-Ghazzālī dan al-Syātibī membuatnya
lebih lues dalam melihat kasus-kasus hadīthah.
Jika maqāsid
al-Syāri‘ merupakan cabang dari sifat yang disebut dalam nas, ia
dinamakan al-‘illah seperti sifat memabukkan. Jika ia merupakan tujuan
umum yang terbatas, maka ia dinamakan al-maqāsid al-qarībah seperti
memelihara akal, dan jika merupakan tujuan tertinggi maka dinamakan al-maqāsid al-‘āliyyah.
Yang terakhir ini merupakan maslahat dan mafsadat itu sendiri,[36]
para usūliyūn
juga menyebutnya sebagai al-‘illat al-ghā’iyyah.
Ketiga tingkat maqāsid
itu tetap dibutuhkan oleh setiap mujtahid dalam istidlāl, sebab pikiran
tetap butuh kepada hal-hal yang jelas dan dekat sebagai pengantar untuk sampai
kepada perkara-perkara yang mendalam.[37]
Dari itu Ibn ‘Āsyūr merumuskan tiga cara ber-istidlāl dengan maqāsid. Pertama, istiqrā’
terhadap ketetapan-ketetapan syarak, baik terhadap al-‘illah maupun
dalil-dalilnya.[38] Kedua,
berpegang kepada ayat-ayat Alquran yang jelas dilālah-nya, yaitu ayat
yang lemah petunjukannya kepada makna kedua. Jadi makna pertama yang merupakan
pemahaman yang jelas dari lahiriah teks secara kebahasaan dapat diyakini
sebagai pemahaman yang benar atas teks itu sendiri.[39]
Ketiga, berpegang kepada hadis-hadis yang mutawatir, baik mutawātir ma‘nawī,
atau mutawātir ‘amalī.[40]
Ketiga cara ber-istidlāl di atas memperlihatkan sikap Ibn ‘Āsyūr
yang tidak membatasi dalil hanya kepada hasil istiqrā’ yang sebut
sebagai al-usūl
al-syarī‘ah oleh al-Syātibī. Selanjutnya,
jika sebagian masālih itu
merupakan maslahat murni, artinya tidak bertentangan dengan maslahat lain, atau
tidak bertentangan dengan mafāsid, maka tidak patut para ulama berbeda
pendapat. Adapun maslahat yang bertentangan dengan mafāsid atau maslahat
lain, maka ia kembali kepada permasalahan tarjīh maslahat.[41]
Berpijak kepada metodologi yang dihasilkan dari paradigma baru ini, Ibn
‘Āsyūr dengan berani menyatakan kemandirian ilmu maqāsid yang harus
dipelajari sebagai ilmu yang berdiri sendiri.[42]
Ajakan ini mendapat sambutan dari para ulama berikutnya, antara lain Ahmad al-Raysūnī,
‘Izz al-Dīn ibn Zaghībah, dan Ziyād Muhammad
Ahmīdān.
Daftar Pustaka
‘Abd al-Salām, al-Imām al-Ghazzālī;
al-Mīzān fī al-Salafī, Kairo: Dār al-Futūh, 1994
________, al-Imām
al-Syātibī, Kairo: Maktabah
al-Islāmiyyah, 2001.
Al-Būtī, Sa‘īd Ramadān,
Dawābit al-Maslahah fī Syarī‘at al-Islāmiyyah, Beirut:
Mū’assasah al-Risālah, 1992
Darrāz,
‘Abd Allāh, Syarh wa Ta‘līqāt al-Muwāfaqāt,
Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.
Al-Ghazzālī,
Asās al-Qiyās, Riyad: Maktabah al-‘Ubaykān, 1993
________, Syifā’
al-Ghalīl; Bayān al-Syabah wa al-Mukhīl wa Masālik al-Ta‘līl, Beirūt : Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1999.
________, al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl, Beirut :
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000
Ibn
‘Āsyūr, Muhammad
al-Tāhir, Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah, Kairo: Dār
al-Salām, 2005.
Al-Juwaynī, al-Burhān fī Usūl al-Fiqh, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
Masud, Muhammad Khalid, Shātibī’s Philosophy of
Islamic Law, Malaysia :
Islamic Book Trust, 2000
Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt,
Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003.
________, al-I‘tisām, Kairo: al-Maktabah
al-Tawfīqiyyah, t.th.
Al-Tirmidhī, Jāmi‘ al-Tirmidhī, Riyad: Dār
al-Salām, 1999.
Zayd, Mustafā, al-Maslahah fī Tasyri‘
al-Islāmī; wa Najm al-Dīn al-Tūfī, Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1964.
[1] Nama lengkapnya
adalah Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Tusī al-Ghazzālī, lahir dari suatu keluarga Persia tahun 450 H/1058 M di Tusal. Al-Ghazzālī
meninggal dunia pada 14 Jumādā al-Thāniyyah 505 H, bertepatan dengan 18
Desember 1111 M. Lihat; ‘Abd al-Salām, al-Imām al-Ghazzālī; al-Mīzān fī
al-Salafī, (Kairo: Dār al-Futūh, 1994), hlm. 15.
[2] Ia adalah Diyā’ al-Dīn Abū al-Ma‘ālī, dilakab sebagai
Imām al-Harāmayn,
lahir 18 Muharram tahun 419 H/, tokoh mutakallimīn, dan ahli fikih,
meninggal tahun 478 H.
[3] Al-Juwaynī, al-Burhān fī Usūl al-Fiqh, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1997), jld. II, hlm. 79, dst.
1. Darūrah,
sesuatu yang tidak boleh tidak (amr darūrī),
al-Juwaynī mencontohkan seperti qisas yang di-ta‘līl dengan pemeliharaan darah;
2. Sesuatu yang terkait dengan
kebutuhan orang banyak (mā yata‘allaq bi al-hājat al-‘ammah),
dan tidak sampai ke tingkat darūrah, dicontohkan dengan sewa menyewa yang merupakan
kebutuhan orang tak berpunya, karena tidak mampu memiliki;
3. Sesuatu yang tidak terkait dengan
darūrah dan hājah, tapi
tampak padanya tujuan untuk mewujudkan kemuliaan, atau menepis lawannya,
contohnya bersuci, dan membersihkan kotoran. Dalam ungkapan lain, al-Juwayni
menyatakannya sebagai sesuatu yang anjuran (al-nadab) kepadanya tampak dan
jelas secara gamblang, seperti anjuran tentang kebersihan (al-tanzif);
4. Sesuatu yang tidak dapat
disandarkan kepada darūrah dan hājah, namun
anjuran (madūb) mewujudkan tujuannya merupakan penjelasan yang berdiri
sendiri (tasrīhan Ibtidā’an)
sehingga tidak bisa diberlakukan qiyās. Contohnya anjuran al-kitābah
(kesepakatan dalam pemerdekaan budak) yang secara qiyās lebih mirip
dengan transaksi antara pemilik dengan miliknya sendiri, sementara tujuan yang
hendak dicapai dari al-kitābah adalah pemerdekaan budak.
5. Sesuatu yang secara juz’ī
tidak diketahui munāsabah-nya, baik di tingkat darūrah, hājah, atau mukarramah,
tapi tidak tertutup kemungkinan mengetahui ma‘nā munāsabah-nya
secara umum. Contohnya masalah ibadah mahdah.
[4] Nama lengkapnya Abū Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsā ibn
Muhammad
al-Lakhmī al-Syātibī,
lahir di Granada, tahunnya tidak diketahui, meninggal pada bulan Syakban tahun
790, bertepatan bulan Agustus 1388 H. Lihat ‘Abd al-Salām, al-Imām al-Syātibī, (Kairo: Maktabah al-Islāmiyyah, 2001),
hlm. 7.
[5] Nama lengkapnya Muhammad al-Tāhir ibn ‘Āsyūr, lahir tahun 1296 H/1879
M, meninggal tahun 1394 H/1973 M. Ia seorang ulama yang ahli dalam bidang
syariah, lughah, dan adab, mengajar di Universitas Zaitunah, Tunisia, guru
besar dalam mazhab Mālikī.
[8] Al-Ghazzālī, Asās al-Qiyās,
(Riyad: Maktabah al-‘Ubaykān, 1993), hlm. 11.
[10]
Al-Būtī, Sa‘īd Ramadān, Dawābit
al-Maslahah
fī Syarī‘at al-Islāmiyyah,
(Beirut: Mū’assasah al-Risālah, 1992), hlm. 347.
[11] Al-Ghazzālī, al-Mustasfā, hlm 176. Misalnya maslahat dalam tarjīh kulli ‘alā
al-juz’ī pada kasus
pasukan muslim yang ditawan musuh, dan dijadikan pagar hidup untuk menepis
serangan muslim. Menurut al-Ghazzālī, solusi hukum untuk masalah ini tidak
disimpulkan berdasar qiyās, tapi dari nas yang tak terbatas (pen. tidak
metodologis). Namun hasil penerapan maslahat ini mengakibatkan terbunuhnya
beberapa orang yang tidak halal darahnya, suatu akibat yang tidak ada kesaksian
syarak untuk ditolerir. Maka al-Ghazzālī mensyaratkan tiga hal untuk boleh
beramal dengannya, yaitu darūrah, qat‘iyyah, dan kulliyah.
[12] Darrāz, ‘Abd Allāh, Syarh wa Ta‘līqāt al-Muwāfaqāt, (Kairo: Maktabah
al-Tawfīqiyyah, t.th.), jld. I, hlm. 27. Lihat penjelasannya pada
catatan kaki nomor 7.
[13]
Masud, Muhammad Khalid, Shātibī’s Philosophy of Islamic Law, (Malaysia :
Islamic Book Trust, 2000), hlm.
20.
[15]
Masud, Muhammad Khalid, Shātibī’s..., hlm. 75. Shātibī
was much worried not only by the fact that tasawwuf comprised a number of
rituals which he considered bid‘a but also by the fact that tasawwuf was
having an adverse effect upon fiqh and usūl. He did
not oppose the Sūfīs
if they followed their peculiar practices individually or as a requirement of tasawwuf. He
opposed them when certain Sūfīs
and fuqahā’ suggested under the influence of tasawwuf, that
these practices were obligatory in a religio-legal sense.
[16]
Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt,
jld. I, hlm. 27. Lihat muqaddimah ketiga. ‘Abd Allāh Darrāz mengatakan,
tidak semua ulama melupakannya, setidaknya al-Ghazzālī telah menyinggung hal
ini saat membahas kehujahan ijmak. Maka dapat disimpulkan, bahwa usaha al-Syātibī ini merupakan
lanjutan dari pemikiran al-Ghazzālī, jadi memiliki akar yang kuat dalam
khasanah keilmuan Islam.
[17] Al-Tirmidhī, Jāmi‘ al-Tirmidhī, (Riyad: Dār
al-Salām, 1999), hlm. 484. Diriwayatkan pada bab farā’id, hadis nomor 2109. Lihat juga: Ibn Mājah, Sunan
Ibn Mājah, (Riyad: Dār al-Salām, 1999), hlm. 381, hadis nomor 2645.
Rasulullah saw. bersabda: القاتل لا يرث “Pembunuh tidak mewarisi.”
[18]
Al-Ghazzālī, al-Mustasfā,
hlm. 312.
[19]
Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt,
jld. III, hlm. 20.
[25] Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt,
jld. II, hlm. 150.
[26] Ibn ‘Āsyūr, Maqāsid..., hlm. 49. Maqāsid al-syarī‘at al-‘āmmah
adalah al-ma‘ānī dan al-hikmah yang menjadi perhatian bagi al-Syari‘
dalam semua penyariatan, atau dalam kebanyakan pensyariatan di mana keberadaan al-hikmah itu tidak hanya berlaku pada satu jenis
hukum syariat tertentu secara khusus.
[27] Ibn ‘Āsyūr, Maqāsid..., hlm. 142. Maqāsid al-syar‘iyyah al-khāssah adalah cara-cara yang dimaksudkan oleh al-Syari‘ dalam memastikan
tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum manusia
dalam aktivitas mereka yang khusus.
[28] Zayd, Mustafā, al-Maslahah fī Tasyri‘ al-Islāmī; wa Najm al-Dīn
al-Tūfī, (Beirut: Dār
al-Fikr al-‘Arabī, 1964), hlm. 133.
[30] Al-Ghazzālī, Syifā’ al-Ghalīl; Bayān
al-Syabah wa al-Mukhīl wa Masālik al-Ta‘līl, (Beirūt: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1999), hlm. 100. Secara operasional ia menyebutnya al-istidlāl
al-mursal, yaitu menghubungkan hukum dengan maslahat semata, tanpa
persaksian dari nas tertentu.
[33]
Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Dāruqutnī:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
"إن الله فرض فرائض فلا تضيعوها، وحدّ حدودا فلا تعتدوها، وحرم أشياء فلا
تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة بكم غير نسيان فلا تسألوا عنها.
[34]
Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt,
jld. III, hlm. 19.
[38] Ibn ‘Āsyūr, Maqāsid..., hlm. 17. Istiqrā’ di
sini dilakukan dengan dua cara, pertama istiqrā’ terhadap hukum-hukum
yang telah diketahui al-‘illah-nya melalui masālik al-‘illah.
Misalnya jual beli kurma kering dengan
kurma basah (al-muzābanah) yang al-‘illah-nya ditetapkan secara īmā’
dari hadis. Demikian pula pada larangan jual beli yang tidak ditimbang (juzāf),
diketahui al-‘illah-nya adalah tidak diketahuinya timbangan. Dari
kasus-kasus lain yang serupa diketahui, bahwa tujuan syarak adalah membatalkan
tipuan dalam transaksi. Maka semua transaksi yang mengandung tipuan dinyatakan
batal secara syar‘ī. Kedua, istiqrā’ terhadap dalil-dalil hukum
yang memiliki kesamaan al-‘illah, sehingga diyakini bahwa al-‘illah
itu merupakan maqāsid
al-syarī‘ah.
[39] Yang dimaksud dengan ayat yang jelas dilālah-nya
adalah ayat-ayat yang petunjukan makna lahiriahnya lebih kuat dari indikator
petunjukan beramal dengan makna kandungannya. Hal ini didasarkan kepada standar
penggunaannya dalam bahasa Arab, di mana makna lahiriah itu tidak diragukan
lagi. Misalnya teks ayat yang berbunyi “kutiba ‘alaykum al-siyām”, kata kutiba
bermakna diwajibkan, jika ada yang mengartikan dituliskan, maka ia salah.
Bagi Ibn ‘Āsyūr, petunjukan ini sampai pada taraf
yakin, mengingat hubungan yang jelas antara teks dengan maksud syarak yang
dikandungnya. Alasannya, karena Alquran bersifat mutawatir secara tekstual (lafz) sehingga dapat dipastikan qat‘ī.
Sebagaimana diketahui, bahwa meski qat‘ī secara
teks, namun ayat Alquran memiliki sisi zannī dalam
hal petunjukan kepada makna. Oleh karena itu petunjukan yang jelas (dilālah
wādihah) dari
ayat menjadi sarana untuk melemahkan kemungkinan beramal dengan makna yang lain
atasnya. Jadi, jika teks yang qat‘ī bersatu
dengan dilālah wādihah, maka
darinya dapat ditarik maqāsid al-syarī‘ah secara meyakinkan.
[40]
Cara ini hanya bisa ditempuh lewat hadis yang mutawātir ma‘nawī,
dan hadis yang mutawātir ‘amalī. Pertama, hadis mutawātir ma‘nawī
merupakan hasil persaksian sahabat atas amalan Rasulullah, maka semua sahabat
yang menyaksikan memahaminya dalam konteks yang sama. Dari sinilah muncul
konsepsi pengetahuan yang darūrī,
yaitu pengetahuan yang tidak harus melalui penalaran, misalnya pengetahuan
tentang hukum sedekah, atau ketentuan khutbah hari raya yang dilakukan lebih
dahulu dari salat. Kedua, mutawātir ‘amalī di mana individu
masing-masing sahabat menyaksikan amal Rasulullah secara berulang-ulang.
Komentar
Posting Komentar