Landasan Filosofis Kurikulum Dayah
Makalah, disampaikan pada Kegiatan: “Pembinaan dan
Pengembangan Silabus Dayah dalam Proses Pembelajaran di Dayah.” Diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh, tanggal 30 Oktober – 4
November 2013, di Hotel Madinah, Banda Aceh.
A.
Pendahuluan
Membicarakan kurikulum tentunya harus sudah
tuntas dalam hal visi dan misi sebuah lembaga pendidikan. Untuk konteks dayah,
hal ini sangat jelas dalam ungkapan almarhum Abu BUDI (Tgk. H. Ibrahim
Ishak). Beliau mengatakan
bahwa tujuan pendidikan dayah ialah membina ulama. Berapa banyak yang
mungkin akan berhasil tidaklah menjadi masalah atau beban pikiran. Dayah
menurut beliau, secara
minimal berusaha mendidik manusia agar gemar mengamalkan agama
sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri dan secara maksimal berilmu agama yang
tinggi, maka beramal dan mengajarkannya kepada orang lain.[1]
Visi dan misi dayah juga dapat dirujuk dari
profil masing-masing dayah. Misalnya dayah MUDI Mesra, menetapkan visi: “Melahirkan
ulama dan intelektual
yang dilandasi oleh panca jiwa yang menjadi ruh al-ma‘had, yaitu keikhlasan,
kesederhanaan, berdikari, ukhuwah
islamiyah dan kebebasan.”[2]
Masalah ini tidak dibahas dalam tulisan sederhana ini, sebab fokus kajian telah
diperkhusus pada kurikulum. Bahkan lebih spesifik lagi membahas penyesuaian
kurikulum terhadap jenjang pendidikan dayah.
Judul
yang diberikan pihak penyelenggara ini pun masih cukup luas untuk diskusi yang
berdurasi 120 menit. Dari itu penulis mempersempit lagi objek diskusi ini pada
aspek jenjang “pasca dayah.” Jenjang ini penulis maksud sebagai lanjutan
bagi dayah yang selama ini mengeluarkan ijazah setingkat sekolah
menengah atas. Jadi jenjang pasca dayah ini dapat diasosiasikan
setingkat strata 1 (S1), atau bahkan kurikulum untuk tingkat strata 2 (S2).
Jenjang yang penulis maksudkan ini bukanlah hal
baru bagi dayah, sebab di masa kesultanan dayah memiliki
jenjang rangkang, bale, dan dayah manyang.[3] Jenjang yang terakhir ini dipimpin
oleh seorang Teungku Chik sehingga sering disebut Dayah Teungku
Chik.[4] Dari manuskrip yang ada, terlihat teungku chik
mengajarkan bidang ilmu pengetahuan tertentu sesuai dengan keahliannya. Di antara mereka ada
yang ahli dalam ilmu falak, yang lainnya menonjol dalam ilmu hisab, ada lagi
yang pintar dalam ilmu tibb
(kedokteran).
Berpijak pada fakta sejarah di atas, penulis
mencoba untuk menggali landasan filosofis bagi pengembangan kurikulum dayah
masa kini, khususnya untuk jenjang S1 dan S2. Hal ini dapat dilakukan dengan
bepijak pada kesepakatan; bahwa kurikulum mengemban amanah dari visi dan misi
lembaga pendidikan itu sendiri. Tentunya visi dan misi ini tidak lepas dari
kondisi sosial dan tuntutan keadaan yang melingkupi dayah.
B.
Landasan Filosofis Kurikulum Dayah Masa Kini
Dayah merupakan lembaga pendidikan yang
eksistensinya berkesinambungan
dengan tradisi kependidikan pada masa
Kesultanan Aceh.[5] Dari itu, secara historis,
eksistensi dayah dapat dilihat dalam empat periode, yaitu: 1) Periode
kegemilangan (masa kesultanan); 2) Periode
kemunduran (masa perang kolonial Belanda dan Jepang); 3) Periode transisi (masa kemerdekaan
sampai meletusnya peristiwa DI/TII); 4) Periode kebangkitan (setelah DI/TII sampai munculnya dayah-dayah
cabang Labuhan Haji).
Membandingkan perkembangan dayah dalam
keempat periode di atas, tampak bahwa di masa kini dayah tidak memiliki
jenjang lanjutan sebagaimana dayah Teungku Chik di masa
kesultanan. Hal ini perlu dipikirkan mengingat dayah berhadapan dengan tantangan
yang ditimbulkan oleh aliran realisme positivistik (rasionalisme murni) yang melihat
rasionalitas sebagai satu-satunya ukuran kebenaran. Filsafat ini merupakan ruh
bagi sains yang secara pesat berkembang di abad modern. Kebenaran yang hendak
dicapai oleh sains adalah kebenaran rasional, empirik, dan sekuler. Kebenaran
dilihat dalam bentuk proposisi hasil penalaran yang memeroleh keabsahan berdasar
fakta (verifikasi empirik).[6]
Pesatnya perkembangan sains dan lahirnya
berbagai produk berteknologi tinggi meningkatkan animo masyarakat (termasuk
Aceh) untuk menggeluti sains. Akibatnya, tanpa disadari filsafat yang
melahirkan sains modern itu ikut tertanam dalam diri masyarakat, termasuk
masyarakat muslim Aceh. Hal ini menimbulkan kebingungan saat bersentuhan dengan
beberapa bagian dari ajaran Islam. Khusus dengan Alquran, misalnya penjelasan
tentang perjalanan israk mikraj. Karena alasan rasionalitas, kaum rasionalis
murni menakwil ayat[7] dalam
arti perjalanan dengan ruh. Konsekuensinya, pensyariatan salat harus diterima sebagai
kejadian dalam mimpi, padahal syariat tidak diturunkan lewat mimpi.[8]
Memasuki era postmodern, filsafat abad modern
runtuh dan digantikan oleh filsafat rasionalisme kritis yang dikembangkan oleh Karl
Raimund Popper (1902-1994 M)
dengan uji falsifikasinya.[9] Maka pola pikir abad modern yang
sudah tidak relevan lagi harus dikikis. Misalnya ide tentang ilmu bebas nilai
yang menyebabkan dehumanisasi, dan ekspoitasi alam secara berlebihan. Ini nyata
sekali paradok dengan kampanye mereka tentang pengabdian ilmu bagi kemanusiaan.[10]
Sayang untuk konteks Aceh belum terlihat pihak yang mengambil peran mengikisnya,
maka sepatutnyalah hal ini juga dipikirkan oleh kalangan dayah.
Dayah dengan jenjang kependidikan yang ada telah
memberikan materi keilmuan yang cukup dan kaya. Dikatakan cukup karena
dilengkapi dengan “ilmu alat” seperti nahwu, sharaf, mantiq, usul al-fiqh,
bayan, dan sebagainya. Dikatakan kaya karena objek kajian cukup mendalam sampai
pada tarjih berbagai pendapat yang berkembang dan penerapan berbagai kaidah
fiqhiyah dan ushuliyah. Hanya saja landasan filosofisnya masih berpijak pada orientasi
teologi (‘aqidah),
bersifat doktrinal dengan pendekatan teologik-linguistik (ilahiyyah-bayāniyyah). Ini terlihat pada misinya menyebarluaskan
akidah ahlussunnah waljamaah, bahkan lebih khusus lagi aliran Asy‘ariyyah.
Landasan filosofis ini sesuai dengan kebutuhan abad
modern, di mana sains yang menjauhkan Tuhan dari keseharian manusia telah
mewarnai teologi Islam.[11]
Maka ajaran teologi Asy‘ariyyah yang merupakan moderasi antara Jabbariyyah dan
Qadariyyah tepat dijadikan penengah. Bahkan bagi penulis, landasan filosofis
ini pun masih relevan untuk jenjang pendidikan aliyah di dayah. Jadi
eksistensi dayah hari ini sebagai warisan budaya dan intelektual Aceh
masih layak dan perlu dipertahankan.
Memasuki era postmodern, tantangan yang
dihadapi umat Islam Aceh sudah bergeser, sebab postmodern terkesan beraliran serba
boleh-serba mungkin. Akibatnya jurang antara yang rasional dan spiritual, yang
eksternal dan internal, yang objektif dan subjektif, yang teknikal dan moral,
yang universal dan yang unik terus-menerus tumbuh.[12]
Ditambah lagi dengan tantangan yang ditinggalkan era modern, maka dibutuhkan
kader-kader yang mampu berdialog pada tataran filosofi. Dari itu kalangan dayah
perlu merumuskan kurikulum jenjang S1 dan S2-nya yang sesuai untuk menghadapi tantangan
itu.
Memerhatikan dua tantangan di atas, maka
penulis menawarkan pengembangan landasan filosofis bagi jenjang S1 dan S2 yang
berorientasi pada epistemologi (nazariyyat al-ma‘rifah). Dalam hal ini kita harus
berterima kasih kepada Imam al-Ghazālī yang telah meneguhkan asumsi dasar
dualisme (lahir dan batin) dalam filsafat Islam. Bahwa mawjūdāt terdiri dari
mawjud fī al-a‘yān, mawjūd fī al-adhhān, mawjūd
fī al-alfāz,
dan mawjūd fī al-kitābah.[13]
Dengan mengakui mawjūd fī al-adhhān (realitas metafisika) al-Ghazālī
telah membangun filsafat rasionalisme kritis di bawah tuntunan Alquran dan
Sunah. Bagi penulis, pemikiran Imam al-Ghazzālī adalah titik aman kita dalam
berfilsafat.
C.
Penutup
Bagi penulis, problema yang dihadapi dayah masa
kini adalah kesulitan menentukan sikap antara mempertahankan tradisi dan
melakukan pembaharuan. Namun dengan cara merumuskan kurikulum berbasis
epistemologi bagi jenjang S1 dan S2, maka dayah tetap mampu mempertahankan
tradisinya dan sekaligus mampu menghadapi tantangan yang muncul akibat
perubahan zaman. Untuk itu kita tidak perlu mengadopsi pemikiran dari luar
Islam, sebab landasan filosofis kurikulum ini bisa dikembangkan dari filsafat
yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazālī.
Daftar Pustaka
A.B. Shah. Metodologi Ilmu
Pengetahuan, terj. Hasan Basri. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Abdul
Jalil, Tuanku, Adat Meukuta Alam. Banda Aceh: PDIA, 1991.
Al-Ghazzālī.
Mi‘yār al-‘Ilm, tahkik Sulaymān Dunyā. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961.
Hasbi
Amiruddin. Ulama Dayah; Pengawal Agama Masyarakat Aceh, cet. II. Lhokseumawe: Nadiya
Foundation, 2007.
Ibn ‘Āsyūr. Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr.
Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984.
K.
Bertens. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 2002.
Moeflich
Hasbullah (ed.). Gagasan dan Perdebatan: Islamisasi Ilmu Pengetahuan,
Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000
Nasim
Butt. Sains
dan Masyarakat Islam, terj.:
Masdar Hilmy. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
Taufik
Abdullah (ed.). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, bekerjasama dengan
Yayasan Ilmu Ilmu Sosial [YIIS] 1983.
Tim Penulis Dayah MUDI Mesra. Profil Ringkas Dayah MUDI Mesra Samalanga, cet. I. Samalanga: LPI
MUDI, 2010.
Van Langen, KFH., Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, alih bahasa: Aboe
Bakar. Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi, 1997.
Ziauddin Sardar. Jihad
Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam , terj. AE.
Priyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
[1] Taufik Abdullah (ed.). Agama dan Perubahan Sosial
(Jakarta: Rajawali, bekerjasama dengan Yayasan Ilmu Ilmu Sosial [YIIS] 1983),
hlm. 151. Wawancara dengan Teungku Ibrahim Ishak, Kepala Dayah BUDI (Bahrul
Ulum Diniyah Islamiyah) Lamno, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya), 1975.
[2]
Tim Penulis Dayah MUDI Mesra. Profil Ringkas Dayah MUDI Mesra Samalanga, cet. I (Samalanga: LPI
MUDI, 2010), hlm. 29.
[3]
Hasbi Amiruddin. Ulama Dayah; Pengawal Agama Masyarakat Aceh, cet. II,
(Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2007), hlm. 51.
[4]
Taufik. Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 161. Di antara teungku
chik ada yang cakap
dalam ilmu bangunan, pertanian, irigasi dan lain-lain. Untuk memperdalam
vak-vak khusus itu, sebagian teungku di balee belajar kepada teungku
chik. Dan para teungku chik, pada umumnya, memperoleh
keahliannya itu di luar negeri seperti di Mekah, Mesir, Turki, India dan
negara-negara lainnya.
[5]
Setidaknya hal ini bisa dilacak dari kata zawiyyah (Arab, dalam dialek
Aceh: dayah) yang telah digunakan sejak masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dalam Undang-undang Kesultanan
Aceh. Pada pasal 7 tentang jabatan
dan tugas/kewajiban Hulubalang, antara lain membuat jalan, masjid, zawiyyah,
dan madrasah. Van Langen, KFH., Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan,
alih bahasa: Aboe Bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi, 1997),
hlm. 75. Abdul Jalil, Tuanku, Adat Meukuta Alam (Banda Aceh:
PDIA, 1991), hlm. 11.
[6]
A.B. Shah. Metodologi Ilmu
Pengetahuan, terj. Hasan Basri (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986),
hlm. 24-93.
[7] (Q.S. al- Isrā’ [17]: 1).
سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (1)
Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.
[8]
Ibn ‘Āsyūr. Tafsīr
al-Tahrīr
wa al-Tanwīr (Tunisia: Dār al-Tūnisiyyah, 1984), jld. XXIII, hlm. 150.
Menurut Ibn ‘Āsyūr, mimpi Nabi Ibrāhīm menyembelih Nabi Ismā‘īl bukan lah
syariat, sebab ia dibatalkan sebelum dilaksanakan. Para ulama menyimpulkan bahwa syariat tidak
pernah diturunkan lewat mimpi. Nabi Muhammad saw. pernah menerima pesan lewat
mimpi, misalnya mimpi tentang kunjungan ke daerah yang banyak ditumbuhi pohon
kurma. Mimpi ini menjadi informasi tentang daerah tujuan hijrah beliau.
[9]
K. Bertens. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman (Jakarta:
Gramedia, 2002), hlm. 72. Karl R. Popper, seorang filsuf asal Austria, lahir
tahun 1902, meninggal tanggal 17 September 1994.
[10]
Ziauddin Sardar. Jihad
Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam , terj. AE. Priyono
(Surabaya: Risalah Gusti, 1998), hlm. 118.
[11]
Nasim Butt. Sains dan Masyarakat Islam, terj.: Masdar Hilmy (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), hlm. 27-30. Sains Barat menganut pandangan absolut yaitu
"induksi" yang dielaborasi oleh Francis Bacon di awal abad ke
17. Dalam tulisan-tulisannya Bacon menekankan bahwa penerimaan pengetahuan asli
tentang alam adalah sama seperti halnya mendapatkan kekuatan. Hasilnya,
kekuatan itu kita gunakan untuk berbuat baik, untuk mengupayakan manusia menuju
kondisi yang lebih baik (positivisme). Pencerdasan manusia–menurut
Bacon-dapat diupayakan melalui penelitian sistematis dengan pijakan dasar-dasar
empiris, juga dengan menjauhkan diri dari dunia prasangka, mitos, filosofis dan
ketentuan-ketentuan moral. Pandangan semacam ini mendominasi seluruh sains
berikutnya. Charles Darwin dalam bukunya yang amat terkenal, The Origin of
Species, menyatakan dengan bangga bahwa seluruh rangkaian penelitian
ilmiahnya didasarkan atas prinsip-prinsip Bacon. Kemudian teori dualistik Rene
Descartes tentang akal dan materi menyesuaikan diri dengan mudah ke dalam
paradigma Bacon, lalu membagi realitas ke dalam dua dunia yang berbeda yaitu
dunia fakta objektif/realitas fisik dan pengalaman pribadi/nilai. Penerimaan
pandangan ini mengharuskan pemisahan yang tajam antara sains dan nilai.
Gagasan-gagasan ini mengantarkan kepada prestasi revolusi sains di Inggris.
Kemajuan industri, teknologi dan kedokteran yang dicapai Barat sangat terkait
dengan kemajuan sains. Akibatnya, Tuhan secara perlahan terelepas dari konteks
persoalan masyarakat, ilmu pengetahuan telah memudarkan faktor-faktor keimanan,
moralitas, tradisi dan keadilan.
[12]
Moeflich Hasbullah (ed.). Gagasan dan Perdebatan: Islamisasi Ilmu
Pengetahuan (Jakarta:
Pustaka Cidesindo, 2000), hlm. 8. Sains modern gagal menghubungkan dirinya dengan alam realitas yang
paling instrinsik dan dengan pengalaman manusia yang paling natural. Para ahli dapat menjelaskan segalanya dalam dunia
objektif kepada kita. Tetapi kita semakin tidak memahami hidup kita sendiri.
Pendeknya kita hidup di dunia posmodern di mana segalanya adalah mungkin dan
hampir tidak ada yang pasti. Kondisi ini memiliki konsekwensi sosial dan
politiknya. Ilmu Pengetahuan rasional tidak mampu menjawab permasalahan
mendasar kemanusiaan. Akibatnya konflik kebudayaan meningkat dan lebih
berbahaya dewasa ini dibandingkan dengan yang pernah terjadi dalam sejarah.
[13] Al-Ghazzālī.
Mi‘yār al-‘Ilm, tahkik Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961),
hlm. 75.
Komentar
Posting Komentar