Masalah Ontologi dalam Kajian Keislaman
Tulisan ini dimuat dalam
Jurnal Islam Futura Volume XI No. 1 - 2012
Abstrak
Sebagian sarjana muslim menawarkan
proyek islamisasi ilmu (islamization of knowledge) untuk melakukan
pengembangan kajian keislaman. Namun tawaran ini ditolak oleh sarjana muslim lain
dengan alasan yang berkaitan erat dengan persoalan landasan ontologis ilmu,
yaitu asumsi dasar terhadap objek material. Akibatnya proyek islamisasi
ilmu dianggap tidak signifikan oleh pihak yang menawarkan pengilmuan Islam. Kiranya
ini bisa dijawab dengan menuntaskan masalah ontologi dalam kajian keislaman
sehingga diperoleh cara pandang yang moderat. Dari itu tulisan ini mengkajinya dengan
pendekatan filsafat rasionalisme kritis (realisme metafisik), dan menggunakan metode
deduktif interpretif dengan uji falsifikasinya. Dari kajian ini ditemukan bahwa
ontologi kajian keislaman adalah realitas teks yang berupa: 1) realitas fisis
teks Alquran; 2) realitas metafisis dari teks Alquran. Nilai dari kedua
realitas teks ini diturunkan ke dalam ilmu-ilmu intelek murni sehingga
terintegrasi dengan kajian keislaman. Lalu temuan ilmu-ilmu intelek murni diterima
sebagai sumber pengetahuan untuk memahami teks, sehingga kajian keislaman terkoneksikan
dengan ilmu-ilmu intelek murni.
Kata kunci: ontologi, kajian keislaman.
A. Pendahuluan
Membicarakan ‘sesuatu’ tidak bisa dilepas dari keberadaan ‘sesuatu’
sebagai objek material, ia tidak kalah penting dari objek formal yang berupa
cara pandang pembicara.[1] Hal
ini jelas karena epistemologi selalu terkait dengan ontologi, sebab keduanya
menunjukkan subjek yang mengamati, dan objek yang diamati.[2] Oleh
karena itu perlu diwaspadai kecenderungan ‘larut’ dalam keasikan di ranah
epistemologi sebelum menuntaskan persoalan ontologi, tidak terkecuali dalam
kajian keislaman.
Ketidaktuntasan di ranah ontologi berakibat fatal bagi epistemologi,
sebab berarti ketidaktepatan metode.[3] Padahal
esensi dari ilmu adalah metodologinya.[4]
Hal ini lebih rumit saat memasuki kajian keislaman, di mana wahyu (teks Alquran
yang memuat gagasan/realitas tertentu) merupakan objek kajian. Akibatnya muncul
masalah; apakah wahyu (teks) yang menjadi sumber pengetahuan, atau realitas itu
sendiri? Tulisan ini mendekatinya secara kefilsafatan (filsafat rasionalisme kritis)
dengan metode deduktif interpretif.[5]
Masalah ontologi ini berpengaruh terhadap asumsi dasar atas objek
material kajian keislaman. Jika teks wahyu yang menjadi sumber pengetahuan,
maka objek material diasumsikan sebagai ‘ada’ secara fisis (kitābah) tapi
bersifat transenden. Sebaliknya jika sumber pengetahuan adalah realitas
(makro/mikro kosmos), maka objek material kajian keislaman juga diasumsikan
sebagai ‘ada’ secara empirik-sensual, tapi bersifat imanen.
Sejarah membuktikan bahwa cara pandang dari sisi pertama berpotensi bagi
pengabaian realitas-empirik (baik kealaman maupun sosial). Sementara cara
pandang dari sisi kedua, berpotensi mengabaikan wahyu (teks Alquran/kitābah).
Mengingat tanggung jawab muslim yang tidak boleh lepas dari Alquran sebagai
pedoman menghadapi dan menjawab masalah dalam realitas kehidupan, maka kedua
cara pandang itu dapat dinyatakan ekstrim sehingga perlu moderasi.
Penulis berasumsi bahwa moderasi dalam kajian keislaman tidak bisa
dicapai tanpa menuntaskan masalah ontologi. Maka pertanyaan yang hendak dijawab
dalam tulisan ini adalah: 1) apa ontologi kajian keislaman; 2) apa landasan
ontologis kajian keislaman.[6]
B. Pembahasan
Keberadaan Alquran sebagai sumber kajian keislaman membuat soal
periwayatan menjadi masalah metodologi yang utama dalam Islam. Hal ini tidak
akan dibahas dalam kajian yang terfokus pada ontologi ini,[7]
sebab ontologi berupaya mencari secara reflektif (mendalam) tentang ‘yang ada.’[8] Sedangkan
metodologi adalah objek kajian epistemologi,[9] ia
membahas tentang kejadian, kebenaran ilmu,[10] dan
metode ilmiah sebagai landasan epistemologis.[11]
Meskipun begitu, ada baiknya ditegaskan, bahwa periwayatan Alquran secara
mutawatir menjadi alasan untuk beralih dari persoalan metodologis-epistemologis
ini. Dengan demikian, fokus pembahasan dapat segera masuk dalam hal ontologi,
yaitu Alquran sebagai ‘yang ada.’
a.
Ontologi Alquran
Para ulama sepakat bahwa Alquran adalah Kalām Allāh. Tapi karena
keberadaannya sebagai ucapan (lafziyyah),
maka para usūliyyūn,
fukaha dan ahli bahasa, membahasnya dalam lingkup kalām lafzī. Dalam hal
ini hanya ahli bahasa yang boleh berhenti pada lafaz, sebab mereka meneliti
sisi kebahasaan dan kemukjizatan yang berkutat pada lafaz.[12] Tetapi
tidak begitu halnya dengan usūliyūn,
sehingga mereka mendefinisikan Alquran secara spesifik.
Seorang usūliyūn
dari kalangan Hanafiyyah,
Abū Zayd al-Dabūsī (w. 430 H/1039 M), mendefinisikan Alquran sebagai berikut:[13]
كتاب الله تعالى: ما نقل إلينا بين دفتي المصاحف على
الأحرف السبعة المشهورة نقلا متواترا.
Kitabullah adalah sesuatu yang
dinukilkan kepada kita di antara dua sisi mushaf berdasarkan huruf-huruf tujuh
yang telah dikenal, ia dinukilkan secara mutawatir.
Adapun dari
kalangan Syāfi‘iyyah, bisa disimak ungkapan al-Sam‘anī (w. 489 H/1096 M) yang
mendefinisikan Alquran sebagai berikut:[14]
المنقول إلينا بطريق التواتر، على وجه يوجب العلم المقطوع،
الذى لا يخامره شك ولا شبهة، وهو المثبت بين الدفتين.
Alquran adalah sesuatu yang
dinukilkan kepada kita secara mutawatir, dengan cara yang menghasilkan
pengetahuan pasti, tidak tercampur keraguan dan syubhat, dan ia tersebut di
antara dua sisi mushaf.
Tokoh Syāfi‘iyyah yang lebih belakangan, al-Ghazzālī (w. 505 H/1111 M)
dalam kitabnya al-Mustasfā,
memilih definisi yang persis sama dengan Abū Zayd al-Dabūsī. Baginya kata mushaf dalam
definisi Alquran menunjukkan kehati-hatian dalam periwayatan. Al-Ghazzālī tidak
memasukkan sisi kemukjizatan dalam definisi Alquran, karena i’jāz
menunjukkan kebenaran Rasul, bukan pembuktian ayat sebagai bagian Alquran.[15] Pada
masa berikutnya, al-Āmudī (w. 631 H/ 1234 M) membuat definisi Alquran yang
tidak berbeda dari al-Ghazzālī. hanya saja tokoh yang juga bermazhab al-Syāfi‘ī
ini menggunakan kriteria naqlan mutawātiran untuk mengeluarkan mushaf yang
diriwayatkan secara perorangan, seperti mushaf Ibn Mas‘ūd.[16]
Gaya pendefinisian seperti ini tidak berubah sampai abad 8 H/14 M.
Seorang ulama dari kalangan Hanafiyyah
yang hidup sampai pertengahan abad 8 H, Sadr
al-Syarī‘ah (w. 742 H/1341 M), juga mengikuti pendefinisian yang sama, tetapi
dengan redaksi yang lebih ringkas:[17]
القرآن: هو ما نقل
إلينا بين دفتي المصاحف تواترا.
Alquran adalah sesuatu yang
dinukilkan kepada kita di antara dua sisi mushaf secara mutawatir.
Setelah abad ke 8 H, muncul kecenderungan mendefinisikan Alquran
sesempurna mungkin, hal ini berlanjut ke masa-masa setelahnya. Di masa kini, sebagai
contoh, dapat dilihat dari definisi yang dibuat ‘Abd al-Wahhāb Khallāf (w. 1375
H/1956 M). Ia menghimpun semua kekhususan Alquran menjadi bagian dari definisi
Alquran:[18]
القرآن: هو كلام الله الذى نزل به الروح الأمين على قلب
رسول الله محمد ابن عبد الله بألفاظ العربية ومعانيه الحقه، ليكون حجة للرسول على
أنه رسول الله، ودستورا للناس يهتدون بهداه، وقربة يتعبدون بتلاوته. وهو المدون
بين دفتي المصحف، المبدوء بسورة الفاتحة، المختوم بسورة الناس، المنقول إلينا
بالتواتر.
Alquran adalah kalamullah yang
diturunkan oleh malaikat Jibril (rūh
al-Amīn) ke hati Rasulullah, Muhammad ibn ‘Abd Allāh, dengan lafaz Arab dan
makna kandungan yang menyertainya agar menjadi hujah bagi Rasul bahwa ia adalah
rasul Allah. Alquran juga menjadi pedoman bagi manusia agar terpetunjuk dengan
hidayahnya, dan membacanya adalah ibadah. Alquran tersusun antara dua sisi
mushaf, didahului dengan surat al-Fātihah,
dan diakhiri dengan surat al-Nās, ia dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
Jika diperhatikan, tidak semua hal yang dimasukkan dalam definisi ini
dibutuhkan sebagai batasan oleh usūliyūn.
Menurut Wahbah al-Zuhaylī, dalam konteks Alquran sebagai dalil, hanya tiga
kriteria yang perlu dimasukkan dalam definisi. Pertama, keadaannya yang
diturunkan kepada Rasulullah saw., kedua, tertulis di dalam mushaf, dan ketiga,
dinukilkan (al-manqūl) melalui periwayatan yang mutawatir.[19]
Berpijak pada uraian di atas, dapat diketahui bahwa bagi usūliyūn Alquran
menjadi dalil karena diriwayatkan secara mutawatir, bukan karena mukjizatnya.
Al-Ghazzālī menyatakan, periwayatan yang mutawatir lah yang menghasilkan
pengetahuan, karena penetapan berdasar sesuatu yang tidak diketahui secara
yakin berarti kejahilan.[20]
Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa secara epistemologis,
Alquran menjadi sumber hukum karena periwayatannya yang mutawatir. Sementara
secara ontologis, usūliyūn
melihat wujud Alquran dalam bentuk teks di antara dua sisi mushaf, yaitu dari
surat al-Fātihah
sampai surat al-Nās. Teks di sini bermakna wujud dalam tulisan (mawjūd fī
al-kitābah) yang dapat dirujuk kembali untuk menimbang berbagai
interpretasi yang dilakukan orang.
b.
Ontologi kajian keislaman
Sebagaimana disinggung sebelumnya, secara epistemologis kajian ilmiah
menjadi lebih rumit dalam ranah kajian keislaman karena keberadaan wahyu
sebagai sumber. Bagi al-Ghazzālī, keberadaan Alquran (wahyu tertulis) sebagai sumber
pengetahuan menjadi pembeda kajian keislaman dari kajian lainnya. Dari itu ia memilah
ilmu dalam dua kategori, yaitu ilmu-ilmu intelektual (‘aqliyyah/rasional
dan empirik-sensual) dan ilmu-ilmu keislaman (dīniyyah) seperti dalam
ragaan berikut:[21]
Ragaan I. Kategorisasi Ilmu ‘Aqliyyah dan Dīniyyah
Menurut al-Ghazzālī.
Kategorisasi di atas tidak dikotomik, tapi objektif karena dipilah
berdasar objek material ilmu dari masing-masing kategori. Adapun kemunculan
berbagai ilmu di bawahnya dipengaruhi oleh objek formal masing-masing ilmu. Jika
objek material ilmu-ilmu intelektual adalah apa yang ada secara rasional (esensi)
dan apa yang ada secara empirik-sensual (eksistensi), maka objek material ilmu-ilmu
keislaman adalah apa yang ada secara tekstual, yaitu bersumber dari Alquran. Masalahnya,
Alquran juga berisi info tentang makro dan mikro kosmos serta perintah
menyelidiki alam, lalu apa ontologi kajian keislaman?
Penulis berasumsi ontologi kajian keislaman adalah realitas teks Alquran,
yaitu pengetahuan yang benar-benar ril diperoleh dari teks Alquran. Hal ini
karena esensi Islam adalah ajaran Alquran, jadi suatu kajian dapat dinyatakan
islami jika dilakukan dari perspektif Alquran. Berbeda halnya dengan kajian
intelektual yang ontologinya adalah realitas fisik dan metafisik dalam artian
kosmologis. Dari itu penulis sependapat dengan al-Ghazzālī, bahwa ilmu terdiri
dari ilmu intelek murni dan ilmu keislaman.
Penulis melihat eksistensi ajaran Islam ada dalam teks secara partikular
(juz’ī, misalnya ayat berupa perintah dan larangan), maka untuk
mengetahuinya digunakan pendekatan epistemologi bayānī.[22] Adapun
esensi ajaran Islam diketahui dari generalisasi berbagai ayat partikular
menjadi kaidah universal (qawā‘id al-kulliyyah), maka digunakan
pendekatan epistemologi burhānī.[23]
Kedua bentuk pendekatan ini dilakukan terhadap objek material yang sama, yaitu teks
Alquran.
Memerhatikan kedua pendekatan epistemologi di atas, jelaslah ontologi
kajian keislaman adalah realitas teks Alquran. Hanya saja yang pertama adalah
realitas fisik (empirik-sensual) dari teks (sīghat),
sementara yang kedua adalah realitas metafisik dari teks yang berupa konteks (al-ma‘nā).
Dengan kata lain, secara ontologis teks Alquran memiliki dua realitas. Pertama,
realitas fisik yang menjadi asumsi dasar kajian keislaman bagi ilmu-ilmu semisal
usul al-fiqh. Kedua, realitas metafisik yang menjadi asumsi dasar kajian
keislaman bagi ilmu-ilmu semisal maqāsid.[24]
Hal ini dikaji dalam sub pembahasan berikutnya.
Bagi penulis, kesadaran bahwa ontologi kajian keislaman adalah realitas
teks Alquran sangat penting. Selain implikasi epistemologis (seperti ketepatan
metodologi), kesadaran ini juga menghindarkan ilmuwan muslim dari
kesalahkaprahan dalam proyek pengembangan kajian keislaman. Salah kaprah dapat
terjadi dalam pengembangan wilayah kajian sehingga mencakup ilmu-ilmu
empirik-sensual, misalnya proyek islamisasi ilmu (Islamization of knowledge).[25] Bisa
juga terjadi dalam pengembangan metodologi yang memasukkan metode keilmuan
sosial (seperti antropologi) sebagai metode kajian keislaman.
Sisi pertama di atas dapat mengaburkan batas kajian ilmu-ilmu keislaman, padahal
setiap ilmu memiliki lapangan kajian sendiri-sendiri yang tidak boleh over
laping antar satu dengan lainnya. Dari itu penulis lebih sepakat dengan
ajakan Kuntowijoyo untuk mengilmukan Islam dari pada proyek islamisasi ilmu
dari al-Farūqī. Menurut Kuntowijoyo, ada dua metodologi yang dipakai dalam
proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektifikasi.[26]
Adapun sisi kedua, mengakibatkan bercampuraduknya
kajian normatif dengan kajian deskriptif. Padahal kedua kajian ini memiliki
aksiologi yang berbeda dan tidak bisa dicampur. Ironisnya, hasil deskripsi
ilmu-ilmu sosial kerap dianggap ideal karena telah melewati proses verifikasi. Misalnya
mengkaji Islam dengan pendekatan antropologi, maka budaya masyarakat muslim
tertentu menjadi objeknya. Akibatnya ideofact dipotret dari sosiofact, maka
budaya (pada sebagian kasus termasuk ritual) berpotensi dijadikan gambaran bagi
norma Islam seidealnya. Hal ini berpotensi mengaburkan norma-norma Islam sebenarnya
yang diajarkan Alquran. Untuk lebih jelas dapat diperhatikan ragaan berikut
ini:[27]
Ragaan II. Antropologi mengindikasikan perwujudan ide
(ideofacts) dalam aktivitas (sosiofacts) dan karya (artifacts),
tapi keberadaan Alquran sebagai pedoman membuat logika terbalik tidak berlaku di
sini, sebab tidak ada ukuran validitas jika dibalik, bahwa karya dan tindakan
muslim lah indikator bagi ideologi Islam.
Jika ontologi kajian keislaman adalah realitas teks
Alquran, dan proyek islamization of knowledge ditolak
dengan alasan di atas, tidakkah ini mengerdilkan kajian keislaman? Pertanyaan
ini mengharuskan kita kembali pada soal keberadaan info tentang mikro dan makro
kosmos yang empirik-sensual dalam Alquran, dan adanya perintah Allah dalam Alquran
untuk menyelidiki alam. Soal yang pertama bersifat menuntun, sedang yang kedua
memotivasi, maka jelaslah pengetahuan tentang realitas kealaman harus diusahakan
sendiri oleh manusia. Namun begitu ia tidak lepas dari nilai-nilai Qurani
(tidak bebas nilai), dari itu penulis menempatkan ilmu-ilmu intelektual murni
itu secara integratif dalam ragaan berikut:
Ragaan III. Memperlihatkan skema integralisasi ilmu
kealaman (intelektual) dengan ilmu keislaman.
Ragaan di atas memperlihatkan bagaimana proses pengintegrasian ilmu
intelektual murni dengan ilmu keislaman yang bersumber dari Alquran. Hal ini
ditampilkan untuk menunjukkan adanya alternatif yang dimungkinkan, adapun
pendalaman atasnya harus masuk dalam kajian epistemologi. Mengingat tulisan ini
difokuskan pada ontologi, maka hal ini tidak mungkin dibahas secara mendalam.
Untuk itu penulis menganjurkan pembaca yang berminat agar merujuk buku-buku
epistemologi.[28]
Sampai di sini penulis teguh dengan kesimpulan bahwa ontologi kajian
keislaman adalah realitas teks Alquran, baik realitas fisis mau pun metafisis. Ini
menjadi alasan untuk tidak gegabah memasukkan kajian intelektual murni ke dalam
kajian keislaman. Namun dalam konteks pengembangan kajian keislaman dengan
memasukkan metode keilmuan sosial, diskusi ini masih perlu dilanjutkan dengan
mengkritisi landasan ontologis kajian keislaman.
c.
Landasan ontologis kajian
keislaman
Landasan ontologis ilmu pengetahuan adalah analisis tentang objek material
dari ilmu pengetahuan tertentu. Adapun objek material dari ilmu pengetahuan
adalah hal-hal atau benda-benda empiris. Sementara landasan epistemologi ilmu
pengetahuan adalah analisis tentang proses tersusunnya ilmu pengetahuan. Karena
ilmu pengetahuan disusun melalui proses yang disebut metode ilmiah (keilmuan),
maka landasan epistemologis ilmu pengetahuan adalah metodenya.[29] Hal
ini juga berlaku bagi ilmu-ilmu keislaman. Namun yang hendak dikaji adalah
landasan ontologis kajian keislaman secara umum, maka ia dibedakan dari
landasan ontologis ilmu karena sifatnya yang umum.
Beranjak dari kesimpulan bahwa ontologi kajian keislaman adalah realitas
teks Alquran, maka landasan ontologis kajian keislaman adalah asumsi dasar
bahwa teks Alquran bersifat fisis. Asumsi ini bisa dibenarkan, baik dengan
melihat Alquran sebagai lafaz (kata, atau ucapan), maupun sebagai tulisan (kitābah).
Menurut al-Ghazzālī, sebagai objek fisis, lafaz (mawjūd fi al-alfāz) menduduki
urutan ketiga dalam hirarki mawjūdāt, yaitu setelah ‘ada’ secara
empirik-sensual (mawjūd fi al-khārij), ‘ada’ secara metafisik-rasional (mawjūd
fi al-adhhān). Adapun tulisan (mawjūd fi al-kitābah) berada pada
urutan keempat dalam arti wujud terendah dalam hirarki mawjūdāt. Sebab tulisan
menunjuk pada lafaz, lafaz menunjuk pada makna dalam jiwa, dan makna itu
semisal dengan objek empirik-sensualnya.[30]
Menurut Kattsoff, setiap kata memiliki tiga segi: 1) tanda itu
sendiri; 2) sesuatu yang ditunjuknya; 3) subjek yang memakai
perkataan itu.[31] Dari
segi “kata” sebagai tanda, Martin Lean—sebagaimana dikutip Gallagher—melihatnya
sebagai objek fisis. Lean menekankan bahwa bahasa adalah nyata seutuhnya dan
tidak mungkin memuat hipotesis yang tak dikenal atau pun menunjuk kepada hal
yang tidak dapat diamati. Arti kata-katanya terdapat di dalam penggunaannya:
kata di dalam dirinya sendiri hanyalah suara, dan kita memberi arti kepadanya
dengan cara kita menggunakannya. Maka kata sebagai ‘objek fisis’ pasti
mempunyai referensi yang sahih.[32]
Menyimak uraian di atas, jelas lah keberadaan teks Alquran sebagai objek
fisis tidak bisa diabaikan dalam kajian keislaman. Terkait dengan diskusi di
atas, al-Syātibī
menyatakan bahwa syariat diturunkan dalam bahasa Arab untuk dipahami oleh umat
(wad‘
al-syarī‘ah li
al-ifhām).[33]
Mengingat pemahaman bisa mengalami distorsi, maka keberadaan teks secara fisis
menjadi penting sebagai rujukan saat terjadi pertentangan pemahaman. Oleh
karena itu ‘Alī Hasb
Allāh menyatakan bahwa meng-istinbāt
hukum syarak berdasarkan terjemahan Alquran tidak sah, lalu ia mendefinisikan
Alquran sebagai berikut:[34]
كلام الله المنزل على محمد e بلسان عربى مبين، تبيانا لما به صلاح الناس فى
دنياهم وأخراهم.
Alquran adalah Kalamullah yang diturunkan
kepada Muhammad saw. dalam bahasa Arab yang jelas, sebagai penjelasan
tentang kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Sebagian penulis mengajukan alasan teologis, bahwa teks (sīghat)
merupakan wujud kalamullah yang bersifat determinan (tawqīfī).[35] Selain
itu, lafaz Alquran merupakan mukjizat yang akan hilang jika boleh meriwayatkan
maknanya saja. Tapi alasan yang lebih penting bagi kajian keislaman adalah wajibnya
pemeliharaan teks Alquran demi menjaga keutuhan al-ma‘na.[36] Benar
kata al-Syātibī,
bahwa al-ma‘nā merupakan maksud dari khitāb, dan sīghat
merupakan perantara (wasīlah) untuk menyampaikan makna yang dimaksud.[37]
Tetapi al-ma’nā menjadi ‘liar’ jika teks hilang, dalam kondisi ini tidak
ada bukti bahwa sebuah kajian masih dalam bingkai kajian keislaman.
Sampai di sini sebuah pertanyaan patut diajukan: apakah landasan
ontologis ini (asumsi dasar bahwa teks Alquran bersifat fisis) tidak
kontraproduktif dengan kebutuhan pengembangan metode kajian keislaman? Penulis
berpendirian tidak, sebab mengasumsikan teks sebagai ‘ada’ secara fisis tidak berarti
menafikan realitas metafisis dari teks. Hanya saja paradigma keilmuan perlu
diperluas sehingga mampu menampung objek formal yang melihat sisi metafisis
dari objek material. Sama halnya dengan ilmu-ilmu empirik yang mengkaji objek
fisik lalu sampai pada kesimpulan-kesimpulan metafisik.
Bagi penulis asumsi dasar kajian keislaman bersifat objektif, karena
berkaitan dengan ontologi teks Alquran yang berupa ‘ada’ secara fisis. Di abad
klasik, asumsi dasar ontologis ini melahirkan paradigma telologik-linguistik
yang tidak berhasil diruntuhkan oleh al-Ghazzālī walau ia menyadari adanya
realitas metafisik dari teks. Al-Ghazzālī menyatakan:[38]
ونحن نعلم أن الشرع يؤثر الكلي على الجزئي ، فإن حفظ أهل الإسلام عن
اصطلام الكفار أهم في مقصود الشرع من حفظ دم مسلم واحد فهذا مقطوع به من مقصود
الشرع والمقطوع به لا يحتاج شهادة أصل
“…kami tahu bahwa syariat
memberlakukan yang universal atas yang partikular, maka memelihara satu
komunitas umat Islam dari kesewenangan kafir merupakan maksud syariat (maqāsid al-syari‘ah) yang
lebih penting dari pada memelihara darah satu orang muslim saja. Ini merupakan
maksud syariat yang pasti, dan tidak butuh kesaksian dari ayat partikular
tertentu.”
Pernyataan di atas menunjukkan kesadaran al-Ghazzālī akan ‘ada’-nya
realitas metafisis dari realitas fisis teks/lafaz Alquran. Jadi al-Ghazzālī
yang menganut dualisme dalam hal ontologi melihat realitas metafisik sebagai
sesuatu yang inheren (tab‘ī)
dalam wujud empirik-sensual sesuatu.[39] Namun
paradigma teologik-linguistik terlalu mendominsi di masa hidup al-Ghazzālī (w.
505 H/1111 M), dan ia belum sempat merumuskan landasan epistemologis maqāsid. Dalam hal
ini, paham dualisme islami yang dibangun al-Ghazzālī menjadi landasan bagi
sikap moderat dalam upaya pengembangan kajian keislaman.
Kesadaran akan realitas metafisis teks Alquran menguat di masa al-Syātibī (w. 790
H/1388 M). Menurut Fahmī Muhammad ‘Alwān, al-Syātibī terinspirasi
metode induktif ilmu-ilmu empirik (istiqrā’ mantiqī), lalu ia
merumuskan induksi berbasis teks (istiqrā’ ma‘nawī).[40] Ini
merupakan sumbangsih orisinil al-Syātibī,
namun menurut Amin Abdullah, al-Syātibī
tidak mengganti paradigma linguistik-teologik, tapi ingin melengkapi agar ilmu usūl al-fiqh
sempurna dalam memahami perintah Allah.[41]
Bagi penulis, paradigma kajian keislaman tidak perlu diganti, tapi diperluas
sehingga masing-masing ilmu dalam kajian keislaman dapat mengembangkan
paradigma keilmuan dan kerangka teorinya sendiri. Ketiga hal ini (asumsi dasar,
paradigma dan teori) merupakan landasan filosofis ilmu, karena suatu paradigma
tertentu lahir berdasarkan asumsi dasar tertentu, begitu pula teori tertentu
bekerja tidak keluar dari ‘wilayah’ paradigmanya.[42] Hal
ini dapat digambarkan dalam ragaan berikut:
Ragaan IV. Hubungan ilmu dengan kerangka teori,
paradigma dan asumsi dasar (Muslih, 2005)
Dengan landasan ontologis berupa asumsi dasar; bahwa objek material
kajian keislaman adalah teks Alquran yang bersifat fisis dan sekaligus memiliki
realitas metafisis, maka paradigma kajian keislaman dapat diperluas menjadi paradigma
teologik-linguistik-filosofik. Ini memberi kesempatan berkembang bagi ilmu-ilmu
baru dalam kajian keislaman. Misalnya ilmu maqāsid—sebagaimana
ditawarkan Ibn ‘Āsyūr—agar dijadikan ilmu mandiri yang lepas dari ilmu usul
al-fiqh. Karena ilmu maqāsid
mengasumsikan objek material kajiannya sebagai ada secara metafisik (landasan
ontologis), dan tidak ada halangan menjadikan induksi atas teks (istiqrā’
ma‘nawī) sebagai metodenya (landasan epistemologis).
Demikan pula tidak ada halangan dalam pengembangan teori. Jika masa al-Ghazzālī
berlaku teori “kembali pada nas tertentu” (rujū‘ ilā asl mu‘ayyan),
maka di masa al-Syātibī
dikemukakan teori lain, yaitu “kembali pada dasar syariat yang umum” (rujū‘
ilā usūl
al-syari‘at
al-kulliyyah). Adapun di masa kini, Ibn ‘Āsyūr (w. 1973 M) menawarkan
teori yang menjadikan kumpulan kaidah sebagai tempat kembali yang dirujuk saat
timbul permasalahan. Ia menyatakan:
وإنما أردت أن تكون ثلة من القواعد القطعية ملجأ نلجأ
إليه عند الإختلاف والمكابرة.
Sesungguhnya yang saya maksud
adalah menjadikan kelompok dari kaidah-kaidah yang pasti itu sebagai tempat
kembali yang dirujuk saat terjadi perbedaan pendapat.
Secara aksiologis kajian keislaman bertujuan untuk menemukan nilai
sebagai hudan li al-nās. Nilai-nilai inilah yang
diintegrasikan ke dalam ilmu-ilmu kealaman (pengetahuan intelek murni)
sebagaimana digambarkan pada Ragaan III. Setelah diintegrasikan, kajian
keislaman diinterkoneksikan dengan ilmu-ilmu kealaman. Penulis optimis hal ini
bisa dilakukan, bahkan al-Ghazzālī saja di abad klasik sudah melihat
kemungkinan ini, ia mencontohkan ayat tentang medis berikut:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (الشعراء[26]:
80)
Dan apabila aku sakit, Dialah
Yang menyembuhkan aku. (QS. Al-Syu‘ara’ [26]: 80)
Menurut al-Ghazzālī,
ayat ini tidak akan bisa dipahami kecuali oleh orang-orang yang memahami ilmu
kedokteran dengan baik.[43]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa ketuntasan di tataran ontologi sangat
penting agar upaya pengembangan kajian keislaman tidak mengalami kontradiksi
secara internal. Jadi moderasi menjadi dasar agar ilmu-ilmu keislaman dapat
menggunakan pendekatan yang diajukan Amin Abdullah,
yakni pendekatan yang berunsur linguistik-historis, teologis-filosofis, dan
sosiologis-antropologis.[44]
C. Penutup
Memerhatikan diskusi para sarjana muslim tentang pengembangan kajian
keislaman, terlihat adanya silang pendapat sebagaimana dapat dibaca dalam
tulisan Kuntowijoyo. Saat ditelusuri, ternyata persoalan itu muncul akibat
ketidaktuntasan di ranah ontologi. Salah satu cara untuk menemukan pemecahan,
adalah mencari inspirasi dalam kekayaan khazanah pemikiran klasik. Ternyata tokoh-tokoh
pemikir muslim klasik semisal al-Ghazzālī dan al-Syātibī sudah membahas persoalan
ontologi sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan inspirasi di masa kini. Ini
menjadi alasan perlunya digalakkan usaha penggalian khazanah klasik agar
sarjana muslim masa kini mampu bersikap kritis seperti yang dicontohkan ulama
masa lalu.
Kajian ini memperlihatkan bahwa sikap moderat al-Ghazzālī dalam hal
ontologi menjadi dasar yang inspiratif bagi sikap moderat pengembangan kajian
keislaman, baik perluasan metodologi maupun wilayah kajian. Dalam amatan
penulis, hal ini dipengaruhi oleh filsafat al-Ghazzālī (w. 505 H/1111 M) yang
bercorak rasionalisme kritis, atau disebut juga realisme metafisik. Sebagai
perbandingan, di Barat filsafat rasionalisme kritis baru muncul pada abad ke
XX, tokohnya antara lain Karl Raimund Popper (1902-1994 M).
Selanjutnya dalam hal epistemologi, keberanian al-Syātibī (w. 790
H/1388 M) hendaknya dijadikan teladan bagi sarjana muslim masa kini. Di tengah
tekanan paradigma lama, al-Syātibī
justru berhasil menemukan jalan keluar dengan mengeksplorasi sisi filosofis
dari objek kajian keislaman. Al-Syātibī
berhasil mengolaborasi metode induktif baru sehingga teks Alquran juga menjadi
sumber nilai secara filosofik. Lalu digunakan sebagai basis nilai dalam
memahami realitas yang diketahui lewat pengetahuan intelektual murni.
Kedua tokoh abad klasik ini menjadi inspirator bagi Ibn ‘Āsyūr sehingga
kajian keislaman tidak putus. Tulisan ini pun mengambil manfaat dari sumbangsih
ketiga tokoh ini sehingga permasalahan ontologi kajian keislaman dapat
dituntaskan. Tentunya tulisan ringkas ini tidak dapat memuaskan semua pihak.
Maka bagi yang berminat dianjurkan untuk merujuk kembali karya-karya yang
sebagiannya dicantumkan dalam daftar pustaka.
Daftar
Pustaka
Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan
Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Ainurrofiq(ed.). Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma
Ushul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.
‘Alwān, Fahmī Muhammad. Al-Qiyam
al-Darūriyyah wa Maqāsid al-Tasyrī‘ al-Islāmī. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyyah, 1989.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Quran.
Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001.
Al-Āmudī. Al-Ihkām fī Usūl al-Ahkām.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Anwar, Saeful. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi
Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Al-Dabūsī, Abū Zayd. Taqwīm al-Adillah fī Usūl al-Fiqh.
Beirut: Mū’assasah al-Risālah, 2001.
Al-Faruqi, Ismail Razi. Islamization of Knowledge.
Virginia USA: International Institute of Islamic Thought, 1989.
Gallagher, Kenneth T. The Philosophy of Knowledge.
New York: Sheed and Ward, 1964.
Al-Ghazzālī. Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl. Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
———. Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.
———. Jawāhir al-Qur’ān wa Duraruh, cet. II.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.
———. Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Mantiq, tahkik:
Sulaymān Dunyā. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961.
Hasb Allāh, ‘Alī. Usūl al-Tasyrī‘ al-Islāmī. Beirut: Dār al-Fikr, 1982.
Ibn ‘Āsyūr, Muhammad al-Tāhir. Maqāsid al-Syarī‘at al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Salām, 2005.
al-Jabiri, Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab, terj.
Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj.
Soejono Soemargono, cet. X. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb. ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh,
cet. XII. Kuwait: Dār al-Qalam, 1978.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi,
edisi revisi, cet. IX. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,
Metodologi, dan Etika, edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu; Kualitatif dan
Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III revisi. Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2006.
Muhadjir,
Noeng. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Axiologi First Order, Second
Order & Third Order of Logics, dan Mixing Paradigms Implementasi
Methodologik, edisi pengembangan 2011. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2011.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas
Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Belukar, 2005.
Peursen, Van. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah
Pengantar Filsafat Ilmu, terj. J. Drost. Jakarta: Gramedia, 1985.
Pranarka, A.M.W. Epistemologi Dasar: Suatu
Pengantar. Jakarta: CSIS, 1987.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat, cet.
XVI. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Ravertz, Jerome R. Filsafat Ilmu; Sejarah dan
Ruang Lingkup Bahasan (The Philosophy of Science). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Rizal Mustansyir, dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Al-Sam‘ānī. Qawāti‘ al-Adillah fī al-Usūl. Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Al-Syarī‘ah, Sadr. Al-Tawdīh. Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Al-Syātibī. Al-Muwāfaqāt
fī Usūl al-Syarī‘ah. Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2003.
UGM, Tim Penyusun Fakultas Filsafat. Filsafat
Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Klaten: Intan Pariwara,
1997.
Al-Zarkasyī. Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.
Al-Zarqānī. Manāhil al-‘Irfān. Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
Al-Zuhaylī, Wahbah. Usūl al-Fiqh al-Islāmī. Beirut: Dār al-Fikr, 1986.
[1] Objek
material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand).
Sesuatu hal yang diselidiki, atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material
mencakup apa saja, baik hal-hal konkret, misalnya manusia, tumbuhan, dan batu
mau pun hal-hal yang abstrak, misalnya ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Objek
formal adalah adalah cara memandang atau cara meninjau yang dilakukan oleh
seorang peneliti terhadap objek materialnya, serta prinsip-prinsip yang
digunakannya. Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu,
tetapi pada saat yang sama dibedakannya dari bidang-bidang lain. Satu objek
material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan
ilmu yang berbeda-beda. Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu;
Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Klaten: Intan Pariwara,
1997), 13.
[2] Jerome
R Ravertz, Filsafat Ilmu; Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, (The
Philosophy of Science), terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), 86.
[3] Ketika
manusia tidak lagi bekerja semaunya saja, akan tetapi dengan cermat menentukan
jalan menuju tujuan, ia mempergunakan metode. Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan;
Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terj. J. Drost (Jakarta: Gramedia, 1985),
16.
[4]
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. II (Yogyakarta: Belukar, 2005), 40.
Van Peursen, Susunan…, 21.
[5] Menurut
Noeng Muhadjir, ada dua pendekatan fenomenologi, yaitu fenomenologi induktif
dan fenomenologi deduktif. Tokoh sentral fenomenologi induktif adalah Edmunt
Husserl, adapun tokoh sentral fenomenologi deduktif adalah Karl R. Popper.
Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Axiologi First
Order, Second Order & Third Order of Logics, dan Mixing Paradigms
Implementasi Methodologik, edisi pengembangan 2011 (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2011), hlm. 150.
[6]
Landasan ontologis ilmu dapat dicari dengan menanyakan apa asumsi ilmu
terhadap objek material mau pun objek formal. Tim UGM, Filsafat Ilmu…,
32.
[7]
Ontologi berasal dari bahasa Yunani, ‘on’ artinya ‘yang ada,’ dan logos
yang berarti ‘penyelidikan tentang,’ atau lebih tepatnya ‘asas-asas
rasionalitas dari.’ Louis O. Kattsoff Pengantar Filsafat, terj. Soejono
Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 73. Ontologi adalah nama lain
bagi metafisika umum, ia membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh
dan sekaligus. Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), 45. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat
oleh satu perwujudan tertentu. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Kualitatif
dan Kuantitatif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian, edisi III revisi
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), 55.
[8] Noeng
Muhadjir, Filsafat Ilmu…, 58.
[9] Kata
epistemologi berasal dari bahasa Yunani “episteme” dan “logos”. Episteme
artinya pengetahuan (knowledge), logos artinya teori. Dengan
demikian epistemologi berarti teori pengetahuan. Rizal Mustansyir, dan Misnal
Munir. Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 16. A.M.W.
Pranarka, Epistemologi Dasar; Suatu Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987), 3.
Dalam bidang ini terdapat tiga persoalan pokok: (a) apakah sumber-sumber
pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana
kita mengetahuinya? (b) Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia
yang benar-benar di luar pemikiran kita? Kalau ada, apakah kita dapat
mengetahuinya? (ini adalah persoalan yang mengarah pada problem phenomena
dan noumena). (c) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?
Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (poin terakhir
ini adalah yang mengarah pada problem verifikasi). Muslih, Filsafat Ilmu…,
20.
[11] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar
Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 105.
[12] Kata kalām kadangkala dipahami
dengan makna masdarī, yaitu
berbicara (takallum). Kadang juga dipahami sebagai hasil dari masdar (sesuatu yang dihasilkan dari
berbicara), yaitu sesuatu yang dibicarakan (mutakallam bih). Keduanya
memiliki sisi lafzī dan nafsī.
Maka makna masdarī dari kalām
lafzī manusia adalah
pergerakan lidah dan perangkat lainnya dalam mengeluarkan huruf dari makhraj-nya.
Sedangkan makna kedua dari kalām lafzī manusia adalah kalimat yang
diucapkan.
Demikian pula halnya ketika membicarakan kalām Allāh.
Kadangkala yang dimaksudkan adalah kalām nafsī, dan kadangkala
ditujukan kepada kalām lafzī.
Pembahasan tentang kalām Allāh dengan makna kalām nafsī
adalah pebahasan para mutakallimīn, mereka membahasnya dalam lingkup
sifat Allah yang nafsiyyah, dan di sisi lain hakikat Alquran adalah kalām
Allāh yang bukan makhluk. Al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1996), 17.
[13] Abū Zayd al-Dabūsī. Taqwīm
al-Adillah fī Usūl al-Fiqh (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 20.
[22] Maksud epistemologi bayānī di
sini merujuk kepada konstruk yang dipetakan Abed al-Jabiri, yaitu ijtihad
dalam memahami teks keagamaan di dalam wilayah sirkulasinya sendiri. Pemecahannya
harus dicari di dalam dan melalui teks, dan qiyās sama sekali bukan ra’y,
tetapi “suatu proses yang dilakukan berdasar dalil sesuai dengan informasi
yang telah ada dalam kitab dan sunnah” Dengan demikian, agar qiyās bisa
berlangsung, harus ada khabar (yakni teks) dalam kitab atau sunnah yang
dijadikan sebagai sumber dan dalil, dan harus ada persesuaian, baik
persesuaian makna atau kemiripan, antara cabang (furū‘) yakni kasus
baru yang hendak dicari hukumnya, dengan sumbernya. Muhammad Abed al-Jabiri.
Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003),
171-172.
[23] Maksud
pendekatan burhānī di sini adalah metode ilmu-ilmu rasional dan
dasar-dasar epistemologisnya: dasar “akal universal.” Al-Jabiri, Formasi…,
504.
[24]
Menurut Ibn ‘Āsyūr, maqāsid
sudah mandiri menjadi ilmu tersendiri. Muhammad
al-Tāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāsid al-Syarī‘at
al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Salām, 2005), 39.
[25] Ismā‘īl Rāzī al-Farūqī mengangkat arti
pentingnya ilmu-ilmu kemanusiaan dalam perspektif Islam, ia menuangkan konsep
ini dalam ide “Islamisasi Ilmu Pengetahuan.” Menurutnya dalam ilmu
sosial kemasyarakatan asing serta ilmu murninya terdapat aspek-aspek penyatuan
pandangan tentang hakikat kehidupan dunia dan sejarah yang bertentangan dengan
Islam. Ismail Razi al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia USA:
International Institute of Islamic Thought, 1989), 10.
[26]
Integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu
(petunjuk Allah dalam Alquran beserta pelaksanaannya dalam Sunah Nabi).
Objektifikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmatan lil
‘ālamīn. Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika, edisi kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 49.
[27]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, edisi revisi, cet. IX
(Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 183.
[28]
Antara lain buku Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika,
[29]
Tim UGM, Filsafat Ilmu…, 57.
[30]
Menurut al-Ghazzālī, ‘yang ada’ terdiri dari empat wujud secara hirarkis,
yaitu: 1) ada secara empirik-sensual (mawjūd fī al-khārij); 2) ada
secara metafisik-rasional (mawjūd fī al-adhhān); 3) ada dalam bentuk
lafaz (mawjūd fī al-alfāz);
4) ada dalam bentuk tulisan (mawjūd fī al-kitābah). Al-Ghazzālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Mantiq, tahkik: Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Ma‘ārif,
1961), 75-77.
[31]
Kattsoff, Pengantar Filsafat…, 42.
[32]
Kenneth T. Gallagher, The Philosophy of Knowledge (New York: Sheed and
Ward, 1964), 97.
[33]
Al-Syātibī,
Al-Muwāfaqāt fī Usūl al-Syarī‘ah,
jld. II (Kairo: Maktabah
al-Tawfīqiyyah, 2003), 54.
[35] Alquran diturunkan sesuai kebutuhan dan
peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Dengan demikian, susunan
ayat dan surat dalam mushaf
yang digandakan ‘Uthmān tidak sesuai dengan urutan turunnya wahyu. Menurut Abū
‘Abd al-Rahmān
al-Sulamī, susunan ini mengikuti bacaan Nabi yang dilakukan di bawah
pengawasan Jibril. Dalam tahun terakhir kehidupan beliau, Jibril sempat dua
kali menyimak bacaan Nabi, dan Zayd ibn Thābit sempat menyaksikan yang
terakhir kali dari peristiwa ini. Al-Zarkasyī, Al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān,
jld. I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 299.
[36] Menurut
Taufik Adnan Amal, kajian-kajian modern tentang Alquran di kalangan sarjana
Barat belum memunculkan masalah serius terhadap keaslian dan integritas
Alquran. Sejumlah sarjana Barat memang telah mengajukan dugaan-dugaan tentang
pemalsuan bagian-bagian tertentu kitab suci yang dilakukan secara sengaja,
tetapi argumen-argumen yang dikemukakan untuk menopang tuduhan itu tampaknya
tidak begitu substansial dan bisa dikesampingkan secara sederhana. Taufik
Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran (Yogyakarta: Forum kajian
Budaya dan Agama, 2001), 248.
[39]
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), 85.
[40] Fahmī Muhammad ‘Alwān, Al-Qiyam al-Darūriyyah wa
Maqāsid al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Kairo: al-Hay’ah al-Misriyyah, 1989), 63.
[41] Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja; Menggagas
Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), 119.
[42] Muslih, Filsafat Ilmu…, 30.
[43] Al-Ghazzālī, Jawāhir al-Qur’ān wa
Duraruh, cet. II (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 32.
[44]
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), 63.
Komentar
Posting Komentar