Menyantuni Anak Yatim: Penafsiran Ayat 220 surat al-Baqarah
Allah berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة [2]: 220)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,
katakanlah; “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu
menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang
membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah
menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 220).
Dalam ayat ini, secara dialogis
Nabi Muhammad saw. diminta menjawab pertanyaan seputar masalah anak yatim.
Redaksi ini membuat uraian ayat di atas selalu aktual, membaca ayat itu memberi
kesan, seolah-olah Nabi Muhammad sendiri yang sedang hadir di hadapan kita, dan
beliau berkata:
“Mengurus urusan anak yatim secara patut
merupakan kebaikan, anak-anak yatim itu adalah saudaramu, maka jangan kamu
sia-siakan, apalagi kamu sakiti, karena Allah pasti mengetahui siapa yang
berbuat kerusakan (menyakiti anak yatim). Kalau kamu menyakitinya, Allah akan
mendatangkan kesulitan kepadamu.”
Lihatlah betapa ayat itu menuntun
kita melihat masalah anak yatim secara menyeluruh (komprehensif), bahwa anak
yatim adalah bagian dari kita (saudara kita). Oleh karena itu menjadi tanggung
jawab kita menyantuninya. Lalu siapa saja yang berbuat keji terhadap anak
yatim, maka kesulitan yang ditimpakan Allah akan menimpa kita semua. Jadi kita
semua juga bertanggungjawab menjaga anak yatim agar tidak disakiti, karena
akibatnya tidak hanya menimpa orang yang menyakitinya saja, tapi semua
masyarakat dalam suatu komunitas di mana si anak yatim hidup dan disakiti. Oleh
karena itu, persoalan anak yatim harus dilihat secara komprehensif-sistemik
Islam merupakan agama yang mengajak
pemeluknya berfikir komprehensif-sistematis, artinya melihat segala persoalan
secara menyeluruh, dan keterkaitannya dengan berbagai hal dalam kehidupan. Jika
manusia cenderung melihat kehidupan dari sudut pandang dirinya saja secara individual,
maka Alquran mengingatkan manusia tentang kesadaran sosial, bahwa kehidupan
dirinya tidak lepas dari sistem kemasyarakatan yang melingkupinya. Salah satu
hal yang juga diingatkan Alquran, adalah keberadaan anak yatim dalam sistem
sosial kemasyarakatan kita, sebagaimana terlihat dalam ayat di atas.
Sesuai pola pikir yang diajarkan
Alquran, fakta keberadaan anak yatim harus dipikirkan umat Islam secara
komprehensif dan sistemik. Komprehensif berarti melihat masalah anak yatim
secara menyeluruh, baik dari aspek yang terkait dengan kebutuhan si anak yatim
sendiri, mau pun dari aspek tanggung jawab kita sebagai bagian dari sistem
sosial di mana anak yatim itu hidup. Ajakan melihat masalah ini secara
komprehensif tergambar dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah,
teks hadis ini dapat kita baca dalam kitab Sunan Ibn Majah:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِينَ
بَيْتٌ فِيهِ يَتِيمٌ يُحْسَنُ إِلَيْهِ وَشَرُّ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِينَ بَيْتٌ
فِيهِ يَتِيمٌ يُسَاءُ إِلَيْهِ
Dari Abu Hurayrah, dari Nabi saw., beliau
bersabda: “Sebaik-baik rumah dalam komunitas umat Islam, adalah rumah yang di
dalamnya dipelihara anak yatim, dan diperlakukan dengan baik. Dan seburuk-buruk
rumah dalam komunitas umat Islam, adalah rumah yang di dalamnya anak yatim
diperlakukan dengan buruk.” (H.R. Ibn Majah).
Perhatikan hadis ini, Rasulullah
memberikan penilaian tentang rumah yang baik dan yang buruk. Tentunya nilai
baik dan buruk ini tidak ada artinya jika bukan sebagai dasar bertindak. Rumah
yang baik menjadi dasar bertindak semua anggota masyarakat untuk membantu
penyantunan anak yatim di rumah itu. Sebaliknya, penilaian terhadap rumah yang
buruk, menjadi dasar bagi semua anggota masyarakat untuk menyelamatkan anak
yatim itu dari rumah yang merupakan neraka baginya.
Adapun bagi orang yang bertindak,
Rasulullah saw. menjelaskan posisinya di mata Allah, sebagaimana hadis yang
dapat kita baca dalam kitab Sunan al-Tirmizi:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَبَضَ يَتِيمًا مِنْ بَيْنِ
الْمُسْلِمِينَ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ إِلَّا
أَنْ يَعْمَلَ ذَنْبًا لَا يُغْفَرُ لَهُ
Dari Ibn ‘Abbâs, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil anak yatim dari kalangan kaum muslimin untuk
diberikan makan dan minum, maka Allah akan memasukkannya ke dalam syurga,
kecuali jika ia berbuat suatu dosa yang tidak terampunkan.” (syirik). (H.R.
al-Tirmizi).
Menyakiti anak yatim tidak hanya
dalam arti fisik berupa memukul, atau memakinya. Para sahabat Nabi saw.
memahaminya secara menyeluruh (komprehensif) berdasarkan pengamatan terhadap
perilaku Rasulullah dalam keseharian beliau. Mari menyimak sebuah atsar
(penjelasan sahabat) yang dicatatkan untuk kita oleh Ibn Abi Syaybah dalam
kitab Mushannaf-nya:
حدثنا
أبو خالد الاحمر عن عمرو بن قيس قال : كانوا يكرهون أن يعطي الرجل صبيه شيئا فيخرجه
فيراه المسكين فيبكي على أهله ويراه اليتيم فيبكي على أهله.
Dari Abu Khalid al-Ahmar, dari ‘Amru ibn Qays,
ia berkata: “Mereka para sahabat, tidak suka jika seseorang memberi sesuatu
kepada anaknya, lalu ia membawanya ke luar rumah sehingga terlihat oleh anak
miskin, lalu anak miskin itu menangis kepada orang tuanya. Demikian pula jika
dilihat oleh anak yatim, lalu anak yatim itu menangis di pangkuan ibunya.”
(H.R. Ibn Abi Syaybah).
Mengharukan sekali, begitu
komprehensifnya cara berpikir para sahabat Rasul, mereka tidak menunggu sampai
anak yatim tersakiti, tapi melakukan pencegahan. Bahkan memutus setiap mata
rantai yang membuka peluang bagi tersakitinya anak yatim. Masya Allah, tidakkah
fakta ini membuka mata hati kita? Ya Allah, berilah kami petunjuk, bukalah mata
hati kami agar memiliki kasih sayang yang tulus, sebagaimana telah Engkau
anugerahkan ke dalam hati Rasulullah saw., dan sahabat-sahabat beliau yang
hidup penuh cinta kasih…
Kembali kepada konteks ayat di
atas, kata “ishlah lahum/kebaikan bagi mereka” bermakna umum yang
mencakup berbuat baik, dan mencegah keburukan atas anak yatim. Dalam konteks
berbuat baik, maksud ayat jelas tidak terbatas dalam arti memberi makan secara
fisik saja, anjuran dalam hadis al-Tirmizi di atas, hanya salah satu contoh
dari perbuatan baik terhadap anak yatim. Dengan demikian, kita juga bertanggungjawab
untuk memberi makanan ruhaniah kepada anak yatim, yaitu pendidikannya sehingga
kelak ia menjadi anak yang berguna. Dalam hal ini, Islam tidak hanya menyuruh
untuk membimbing anak yatim agar memiliki ilmu dan akhlak yang baik. Tapi juga
mengajarkan untuk meluruskan perilakunya, termasuk menegur jika ia salah.
Pengasuh anak yatim berkewajiban
menegur kesalahan anak yatim agar ia terdidik dengan benar dan berakhlak mulia,
bahkan dibolehkan memukulnya asalkan dalam konteks mendidik. Setidaknya kita bisa
meneladani cara Aisyah (isteri Nabi saw.), sebagaimana dapat kita simak dari
catatan Ibn Abi Syaybah dalam kitab Musannaf-nya:
أبو أسامة عن شعبة قال حدثتني شميسة ، قالت : سمعت عائشة أو سئلت عن أدب
اليتيم فقالت : إني لاضرب أحدهم حتى ينبسط.
Abu Usamah meriwayatkan dari Syu‘bah, ia
berkata: “Disampaikan kepadaku oleh Syamisah yang mendengar jawaban Aisyah saat
ditanya tentang adab terhadap anak yatim.” Aisyah berkata: “Sungguh Aku memukul
salah seorang dari mereka (anak yatim) sehingga ia menjadi senang menerimanya.
(H.R. Ibn Abi Syaybah).
Kiranya tindakan memukul yang dilakukan Aisyah itu
sesuai dengan tuntunan Rasulullah dalam Hadis berikut:
الحسن العرني أن رجلا قال للنبى صلى الله عليه وسلم : مم أضرب يتيمي ؟
قال : (اضربه مما كنت ضاربا منه ولدك).
Dari al-Hasan, bahwa seseorang bertanya kepada
Rasulullah saw., “Dalam batasan mana aku boleh memukul seorang anak yatim?”
Rasulullah menjawab: “Pukullah ia dalam batasan pukulan yang kamu jatuhkan
terhadap anakmu.” (H.R. Ibn Abi Syaybah).
Demikian cara pandang yang
komprehensif diajarkan oleh Islam dalam menyikapi fenomena keberadaan anak
yatim dalam komunitas umat Islam. Selain itu, Islam juga mengajarkan cara
pandang yang sistemik, artinya ia merupakan bagian dari sistem sosial yang
bekerja dalam komunitas masyarakat. Sebuah sistem dapat berjalan karena
memiliki bagian-bagian yang saling dukung. Sebaliknya, sebuah sistem sosial
tidak akan berjalan dengan baik jika salah satu bagiannya rusak, sama seperti
sistem mekanik pada sebuah mesin. Dan salah satu bagian dari sistem sosial
adalah keberadaan orang miskin dan anak yatim.
Manusia sebagaimana juga alam di
mana ia hidup, diciptakan Allah dalam sunnah perbedaan yang menjadi sebab terus
berputarnya alam dan kehidupan. Ada siang dan malam, ada baik dan buruk, dan
juga ada kaya dan miskin. Berbeda dari alam materil, manusia memiliki sisi
kemanusiaan yang membuat ia merasa senang, susah, gembira dan sedih. Sisi ini
lah yang membuat manusia merasa hidupnya lebih berarti.
Capaian materil yang melimpah tidak
membuat seseorang merasa puas, sebab manusia butuh kepuasan batin yang
bersumber dari penghargaan sosial oleh komunitasnya. Di sinilah seseorang
memperoleh arti hidupnya di tengah masyarakat, yaitu saat ia mampu meringankan
beban hidup orang lain. Dari sudut pandang ini kita bisa memahami kehadiran
anak yatim sebagai bagian dari sistem sosial kemasyarakan kita sebagai muslim.
Sebab kita perlu mengasah aspek kemanusiaan dalam diri kita, sebagaimana sabda
Rasulullah dalam kitab Sunan Kubra yang
ditulis oleh Imam al-Bayhaqi:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ: أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ رَضِىَ اللَّهُ
عَنْهُ كَتَبَ إِلَى سَلْمَانَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - قَسْوَةَ قَلْبَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - : إِنْ
أَرَدْتَ أَنْ يَلينَ قَلْبُكَ فَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْهُ.
Dari Muhammad ibn Wasi‘, bahwa Abu Darda’ ra.
menulis surat kepada Salman yang isinya menceritakan pengaduan seorang lelaki
kepada Rasulullah saw. tentang hatinya yang keras. Maka Rasulullah saw.
bersabda: “Jika kamu menginginkan agar hatimu lembut kembali, maka elus lah
kepada anak yatim, dan beri ia makan.” (H.R. al-Bayhaqi).
Sungguh sangat indah, hadis ini
menunjukkan bagaimana Rasulullah menempatkan keberadaan anak yatim sebagai
bagian dari sistem sosial umat Islam. Seandainya kita tidak menempatkan keberadaan
anak yatim sebagai bagian yang mengasah kepekaan sisi manusiawi kita, sungguh sistem
sosial masyarakat kita menghasilkan komunitas yang beringas. Sebab sistem
sosial seperti itu hanya mampu memproduk manusia dengan mental binatang, sehingga
lingkungan hidup menjadi tak berbeda dari rimba liar…
Sisi lain dari pola pikir
sistematis, umat Islam dianjurkan membentuk suatu lembaga yang memenej
penyantunan anak yatim. Sisi ini menjadikan ajaran Islam selalu aktual di
tengah masyarakat yang terus berubah. Dari itu kita perlu memberdayakan suatu
badan penyantun anak yatim, sehingga mampu mengemban sebagian tanggung jawab
kita yang terabai oleh kesibukan sehari-hari. Wallahu a‘lam.
Mohon maaf atas kekurangan Ilmu dan pemahaman sy...diterjemahan ada kaliamat menggauli...yg dimaksud menggauli ini apa ya Pak.apa kementrian agama waktu penerjemahan ada yh sengaja menyisipkan kata2 ini...menggauli bahasa Indonesia...tetapi konotasinya bisa berbeda untuk Pembaca
BalasHapus