Berpikir Merdeka
Barangsiapa
yang memiliki seorang budak, lalu ia memberinya pendidikan sebaik-baiknya, dan
diajarkannya adab sebaik-baiknya, kemudian ia merdekakan dan nikahkan, maka ia mendapat dua pahala. (HR. Bukhari).
Sedikit perenungan akan membawa kita pada
kesadaran, mengapa dalam Hadis di atas Rasulullah mendahulukan pendidikan dan adab daripada pemerdekaan. Ternyata
inilah hakikat merdeka yang melebihi kemerdekaan dalam arti leksikal, sebab pendidikan
dan adab memerdekakan seseorang walau jasmaninya terpenjara. Jika tuntunan Rasulullah diterapkan, maka sempurnalah
kemerdekaan seorang budak. Sebaliknya jika tuntunan itu diabaikan, maka tidak
ada artinya kemerdekaan si budak, sebab ia tetap diperbudak oleh kebodohan.
Berdasarkan logika ini, maka hapusnya perbudakan sekarang ini tidak menirmaknakan
Hadis di atas.
Sebab, meski secara semantik terlihat berbicara tentang budak, namun secara sintaksis-redaksional pokok pikiran Hadis adalah hubungan relasional. Yaitu relasi kewajiban memerdekakan oleh penguasa dengan hak memeroleh kemerdekaan bagi yang dikuasai. Inilah bentuk relasi yang tidak pernah
lenyap di muka bumi, baik penguasa rumah tangga, perusahaan, bahkan
pemerintahan. Maka patutlah kita bertanya pada diri
sendiri, sudahkah kita memerdekakan orang-orang yang berada di bawah kekuasaan kita?
Dorongan memerdekakan dan petunjuk teknis dalam
Hadis di atas mengukuhkan kedalaman hikmah, bahwa Nabi saw. mengajarkan kita
tentang pemerdekaan yang hakiki: pertama, kemerdekaan berpikir sebagai hasil
dari pendidikan yang baik (kognitif); kedua, kemerdekaan bertindak yang
dihasilkan oleh etika yang baik (konatif). Namun kemerdekaan bertindak juga
didasari oleh pemahaman terhadap nilai-nilai secara baik, maka hakikat
kemerdekaan adalah memerdekakan pikiran dengan cara berpikir merdeka.
Merdeka bermakna bebas, berdiri sendiri, pilihan
sendiri atau tanpa paksaan. Namun dalam konteks berpikir—disadari atau tidak—kita
kerap terbelenggu oleh ketidaktahuan, itulah sebabnya Alquran memerintahkan ”fatabayyanu”
(QS. Al-Hujurat [49]: 6). Bayangkan betapa tidak merdekanya kita saat dipaksa
oleh waktu untuk membuat putusan, sementara kita tidak punya cukup pengetahuan.
Lalu ketidaktahuan akan apa yang kita hadapi setelahnya, berujung pada
ketakutan sehingga tidak berani mengambil keputusan. Maka nyatalah pikiran kita
sedang terjajah, dipaksa, dan tidak merdeka!
Berpikir adalah aktivitas mental terhadap objek
yang terjangkau oleh pengetahuan manusia. Aktivitas inilah yang harus
dimerdekakan dengan ta‘lim dan ta’dib sebagaimana bunyi Hadis di
atas. Dengan demikian, pendidikan yang baik bukan transfer pengetahuan
(data/materi ilmu), tapi transfer pemikiran. Demikian pula adab bukanlah reproduksi
budaya, tapi sarana dan ajang latihan bagi ketajaman pikiran. Ta‘lim
menyediakan kekayaan khazanah, dan ta’dib menghasilkan kemampuan kritis
pikiran. Perpaduan keduanya mengantarkan kita pada “pikiran merdeka.”
Tulisan ini dimuat di Tabloit Pikiran Merdeka, Edisi 89, 7-13 September 2015
Komentar
Posting Komentar