Abu Panton: Resolusi Konflik dalam Islam

Judul               :    Resolusi Konflik dalam Islam (Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah)
Penulis            :    Tgk. H. Ibrahim Bardan (Abu Panton)
Pengantar        :    Muhammad Nazar, S.Ag
Editor              :    Hasan Basri M. Nur
Cover/layout   :    Fatar1403@yahoo.com
Jlh. hlm.          :    xxxii + 166
Ukuran            :    14.2 x 21 cm
ISBN              :    978-979-17858-1-5
Th. Terbit        :    cet. 1 November 2008
Penerbit           :   The Aceh Institute bekerjasama dengan BRR NAD Nias 


Di tahun 2000 sekelompok aktivis kemanusiaan dari berbagai daerah di Indonesia (termasuk dari Aceh) berangkat ke Afrika Selatan. Misi utamanya untuk belajar tentang Resolusi Konflik dan TRC (Truth and Reconciliation Commission) khas Afrika Selatan yang dengan bangga mereka perkenalkan sebagai African wisdom.
Berpijak dari pengalaman Afrika Selatan, maka dengan kondisi seperti sekarang, sangatlah mungkin Indonesia akan menjadi alternatif baru pusat kajian resolusi konflik. Kita akan memperkenalkan Indonesian wisdom, di mana local wisdom-nya Aceh akan menjadi model. Dapat dikatakan langkah ke arah ini telah dimulai dengan lahirnya buku Abu Panton, hanya saja buku ini masih kurang percaya diri sehingga warna Islam-nya lebih ditonjolkan. Padahal dari kerangka pemikirannya, buku ini patut diberi judul yang lebih spesifik Aceh, misalnya “Kearifan Resolusi Konflik Aceh,” atau “Kearifan Lokal Resolusi Konflik Aceh.”
Mengingat nilai-nilai ke-Aceh-an yang mengakar kepada Islam, maka cukup beralasan jika buku ini diawali dengan pandangan Islam. Pembahasan menjadi lebih menarik karena dibahas secara applicable, tidak banyak teori dan memuat sirah nabawiyah serta kisah-kisah yang memancing penghayatan pembaca. Pembahasan yang menghabiskan hampir separuh dari ruang buku ini lebih dari cukup untuk menggambarkan penekanan Islam pada sikap menghindari konflik.
Keunggulan buku ini justru terletak pada muatan nilai ke-Aceh-an dalam konteks resolusi konflik. Kata suloh yang telah masuk dalam terminologi Aceh menjadi ciri kekhususan resolusi konflik ala Aceh. Ini juga membuktikan betapa dalamnya peranan dan keterlibatan ulama dalam penyelesaian konflik, khususnya konflik di tengah masyarakat sehingga kata suloh begitu membumi di Aceh. Topik suloh dipaparkan setelah pembahasan tentang peran ulama dalam jihad melawan kaphe Beulanda, bagian dari sejarah Aceh yang terekam dengan baik. Uniknya buku ini juga menambahkan beberapa detil informasi sejarah yang jarang ditemukan dalam buku-buku teks sejarah, seperti informasi tentang pemusnahan silsilah yang dipandang sebagai trik penting oleh Belanda, atau perjuangan Teungku Di Cot Plieng yang sampai-sampai harus merontokkan giginya sendiri.
Buku ini secara apik berhasil memetakan rekaman konflik dari perbendaharaan sejarah. Di mulai dari kerajaan Pasai, konflik dipicu oleh upaya pencaplokan wilayah oleh Raja Nakur, lalu berlanjut dengan perebutan kekuasaan antara Zainul Abidin dan Iskandar. Karakter politis dari konflik terlihat dominan sepanjang sejarah yang digambarkan, juga dalam masa berikutnya saat Iskandar Muda berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam atau di abad modern saat Aceh telah menjadi bagian dari Indonesia.
Dalam konflik politik, yang melibatkan pengerahan massa rakyat, peran mediator ulama tidak terlihat, misalnya dalam menghadapi pendudukan Belanda. Saat Aceh harus menggunakan kekerasan sebagai jalan terakhir upaya penyelesaian konflik, ulama dituntut berada di barisan terdepan dengan isu jihad. Demikian pula pada masa menguatnya tuntutan referendum di mana rakyat terkonsentrasi secara massal, lagi-lagi ulama dituntut berpihak pada rakyat. Namun dalam konflik DI/TII dan ketika konflik meruncing antara GAM dan pemerintah RI, karakteristik konflik tidak mengambil bentuk pengerahan massa rakyat. Di sinilah peran mediasi ulama menjadi penting, dan ini adalah bagian terpenting yang digambarkan buku ini sebagai kearifan lokal Aceh dan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan pada halaman 104 buku ini.
Sayangnya buku ini tidak berbicara lebih jauh tentang tahapan dan proses mediasi ulama dalam rentang waktu 1999-2006, misalnya kelahiran CoHA dan MoU Helsinki. Hal ini memang telah dibatasi dari awal, tercermin dari judulnya yang menekankan pada kajian normatif dan historis perspektif ulama dayah. Namun sebagai peretas jalan, buku ini telah berhasil menyajikan peran ulama dalam memediasi konflik. Hanya saja ada satu hal yang mengganggu pembaca, yaitu mengemukanya istilah ulama rasional, ulama inshafuddin dan ulama struktural (antara lain pada halaman 136). Pembaca akan segera menangkap kesan ketidakpaduan langkah karena ulasan tentang pembagian peran tidak totalitas menunjukkan kesatuan misi yang dirancang bersama.
Cuplikan sejarah dalam buku ini menunjukkan tidak adanya ragam tipologi ulama dalam masa awal sejarah Aceh sampai perlawanan ulama Tiro terpatahkan. Apakah ada konspirasi terselubung di balik sistem yang berusaha menstrukturkan ulama? Hasbi Amiruddin mengatakan ulama tidak mungkin distrukturkan (hal. 108). Mungkin hal ini juga berpengaruh bagi pemilihan judul buku ini yang lebih menonjolkan rekatan Islam. Rekatan ini pula yang disajikan dengan baik dalam buku ini sebagai dasar pijakan normatif yang menjadi watak resolusi konflik Aceh.
Dapat disimpulkan buku ini sangat bebobot secara struktur dan bangunan kerangka pikirnya. Sayangnya pengerjaan editoring buku ini terkesan buru-buru sehingga kesalahan ejaan dalam penulisan nama tokoh dan nara sumber kerap ditemukan. Misalnya nama Paul van’t Veer yang ditulis Van Vier, H.C. Zentgraaff ditulis H.C. ZentGraaft. Kesalahan ketik juga ada yang mengganggu, misalnya Residen yang tertulis Presiden (hal. 85).
Hal lain yang diabaikan oleh editor dan sangat mengganggu pembaca adalah penggunaan kalimat yang kurang tepat untuk konteks yang ingin digambarkan. Misalnya pada halaman 79, kalimat “Inggris menanamkan kukunya di sebuah pulau di Selat Malaka”, mungkin maksud penulis akan lebih terakomodir jika kata “menanamkan” diganti dengan kata “menancapkan.” Kasus seperti ini banyak ditemukan akibat penggunaan kata-kata yang bombastis namun tidak memperhatikan ketepatan kata yang digunakan untuk melukiskan realitas yang diungkap.
Selain itu juga ditemukan adanya kata-kata yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, misalnya kata “sesiapa” yang lebih bercirikan dialeg bahasa Melayu Malaysia. Gaya bahasa dalam buku ini terlihat sangat beragam, seolah mencerminkan ketidak satuan garapan antar masing bagian bab dalam buku. Sungguh sangat mengganggu untuk sebuah buku yang ditulis oleh satu penulis. Di satu bagian kita menemukan ciri intelektualitas modern Indonesia dengan penggunaan istilah berbahasa Inggris yang mengglobal. Namun banyak bagian justru bergaya bahasa Indonesia klasik yang beriklim ke-Aceh-an. Hal ini menuntut ketegasan sikap dan keseriusan terkait dengan kehendak untuk menyejajarkan buku ini dalam kepustakaan Nasional. Saya kira, komit dengan warna dan gaya tersendiri justru lebih baik, karena tampil secara kedaerahan justru memperkaya khazanah Nasional, bukan alasan untuk tidak percaya diri.

Dari sisi penampilan fisik, kemasan cover buku ini tergolong cukup baik. Namun ada permasalahan teknis disain grafis dan layout yang perlu dibenahi. Banyak nomor footnote berserakan tumpang tindih dengan tulisan dalam buku, padahal footnote-nya sendiri tidak ada di kaki halaman. Intinya penampilan buku ini masih perlu “didandani,” diberi sentuhan seni yang lebih halus sehingga layak bersanding di etalase bergengsi. Isi buku yang berbobot harus didukung oleh kemasan yang berdaya jual. Maka sebelum buku ini diedar ke pasaran, editor, layouter dan disainer-nya dituntut bekerja ulang. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Kumpulan Kaidah Usūliyyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Paradigma Moderat Tafsir Kesetaraan Gender

Nuzulul Quran Penafsiran Ayat 185 Surat al-Baqarah