Resensi Buku Wahdatul Wujud
Resensi
Buku
Judul Buku : Wahdatul Wujud: Membedah Dunia Kamal
Penulis : Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad, Ph.D
Kata
Pengantar : Prof. Drs. Yusny Saby, MA, Ph.D
Editor : Iskandar Norman
Proof
Reader : Fitri Zulfidar
Tata
letak & desain sampul : thafa679
Penerbit : Bandar Publishing
Tahun
Terbit : Cetakan Pertama, Mei 2013
Ukuran
: 14cm x 21cm
Jumlah
Halaman : xvi + 362 hlm
Berbicara dalam lingkup misteri, Kenneth T.
Gallagher menyatakan: “A mystery, on the other hand, is a question in which
what is given cannot be regarded as detached from the self.” (Gallagher, 1964:
238). Dengan demikian, jika kita terperangkap sehingga tidak bisa mengamati
diri dari luar, maka ‘ada’ yang dibicarakan tidak bisa diselidiki dari segala
segi.
Ungkapan di atas menjadi tantangan bagi buku ini atas
usaha membuka perspektif baru tentang wahdatul wujud. Jika selama ini cenderung
dilihat dari kacamata fikih sehingga berujung pada klaim sesat, buku ini justru
mengajak menggunakan kacamata fenomenologi, maka klaim sesat harus ditunda. Objek
yang dibahas pun bukan ajaran Ibn ‘Arabi atau tokoh wahdatul wujud tertentu,
melainkan versi tersendiri yang dapat dibanding dengan ide qurbah/taqarrub
ala al-Ghazzālī (hlm. 269). Dari itu cukup beralasan buku ini ditulis dengan
gaya provokatif agar pembaca “simpati,” bahkan termotivasi walau sekadar untuk
berkenalan dengan dunia kamal.
Dilihat dari perspektif memperkenalkan dunia kamal
bagi pembaca, buku ini ditulis cukup runtut dan hirarkis. Dimulai dari bab Saya
(Bab 1), Diri (Bab 2), Ilmu (Bab 3), Berfikir (Bab 4), Pemikiran (Bab 5),
Hakikat (Bab 6), Makrifat (Bab 7), sampai Hikmah (Bab 8), pembaca dapat memulai
pengembaraan dan naik ke puncak pemahaman wahdatul wujud. Untuk “menikmati”
pengembaraan ini, pembaca dituntut memiliki bekal pengetahuan tentang nazariyat
al-ma‘rifah/epistemologi. Tetapi buku ini tidak ditulis untuk memandu jalan
menuju wahdatul wujud, jadi keliru jika dipandang sebagai panduan bagi
“tarikat” wahdatul wujud.
Meski bukan panduan, pembacaan terhadap bab-bab
dalam buku ini dapat mengantar pembaca menuju pencerahan intelektual dan
spiritual. Namun pembaca dituntut berhati-hati dalam memahami beberapa istilah
yang digunakan. Misalnya kata “Diri” yang tidak dijelaskan referens/ masadāq-nya dalam Bab Diri,
tapi disebut tempatnya antara nafsu dan akal. Dinyatakan: “Namun, jika dia
berusaha untuk diam atau tidak bicara atau mengerahkan kekuatan tubuh dia untuk
berhenti berpikir, niscaya dia akan mampu mendapatkan kekuatan yang lebih
dahsyat dari akal.” (hlm. 96). Lalu pada halaman berikutnya: “Namun jika tubuh
manusia dikuasai oleh nafsu, maka diri akan mengalah, sambil berharap manusia
tersebut bisa kembali mengenali dirinya sendiri.” (hlm. 97). Di sini kata diri
terkesan dimaknai sebagai kesadaran.
Selanjutnya dalam bab Hakikat, hlm. 253, penulis
buku ini menggunakan terminologi nafsu, akal, dan batin sebagaimana terlihat
dalam kutipan berikut:
Jadi,
manusia sebenarnya tempat atau wadah dari sesuatu yang “suci” dan “hina.” Di
tengah-tengah “suci” dan “hina” ada “nafsu.” Di atas ketiga hal tersebut ada “akal”
dan “batin” manusia yang menjadi pusat mikro-kosmos. Dari sini kemudian dapat
disimpulkan bahwa kita sebenarnya adalah “suci,” “hina,” “nafsu,” “akal,” dan
“batin.” Dari “suci” dia akan mencari kawannya dalam jasad manusia yaitu
“batin.” Dari “hina” dia akan mencari kawannya yaitu “nafsu.” Untuk menimbang
atau wasit dari jasad manusia maka “akal” berfungsi untuk menimbang hal yang
baik dan buruk. Karena “batin” sangat tersembunyi maka dia hanya mendekat pada
sesuatu yang tersembunyi pula yaitu “hati” (qalb).
Tampak pada paragraf ini muncul kata “hati” yang
dipadankan dengan kata Arab “qalb.” Jika ditautkan dengan kata “diri”
yang juga disebut “jati diri” oleh buku ini dalam arti identitas pada bab Diri
(hlm. 97), maka jelas kata “diri” semakna dengan “hati” (qalb).
Sayangnya penulis tidak konsisten dengan istilah itu, bahkan sebuah kalimat
justru menambah kekaburan keduanya: “Diri hanya lebih banyak diam dalam hati”
sehingga berpotensi menimbulkan bias.
Merujuk pendapat Ibn Khaldūn (w. 808 H/1406 M), secara fitrah manusia diberi potensi lahiriah berupa panca indera (al-khawās
al-khams), dan potensi batin berupa kemampuan berpikir (al-quwā
al-dimāghiyyah). Keduanya merupakan persiapan bagi potensi yang
lebih tinggi secara fitrah, yaitu potensi rohani (rūhāniyyah). Bagi Ibn
Khadūn, potensi inderawi dan akal potensial mengalami penyimpangan akibat
tercampurnya potensi kebinatangan (al-rūh al-hayawānī) dalam indera
lahiriah manusia. (Ibn Khaldūn. Muqaddimah,
t.th.: 104). Lebih tegas istilah
kekuatan batin/potensi rohani sebagai misteri “diri,” dapat dilihat dalam penggunaan kata “ruh” oleh Al-Ghazzālī (w. 505 H/ 1111 M). Ia
mendefinisikan ruh sebagai potensi
mengetahui, yaitu substansi abstrak (al-latīfah) yang membuat manusia
mampu mencerap. Ia semakna dengan kata al-qalb yang bersifat
ketuhanan (rabbāniyyah) dan bersifat spiritual (rūhāniyyah), (Al-Ghazzālī.
Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, t.th., jld. III: 5).
Pandangan dua tokoh yang berbeda zaman ini dapat
dijadikan pegangan, bahwa kata batin digunakan semakna dengan qalb.
Dengan demikian, maksud kata “diri” sebagai kekuatan yang lebih dahsyat dari
akal dalam buku ini cukup sahih sebagai qalb, tapi sayang tidak
dipertegas. Akibatnya pembaca tidak segera dapat menangkap maksud sebenarnya
dari kata “diri” yang oleh buku ini dinyatakan sulit dipahami; tentang di mana
ia bersemayam dalam tubuh manusia.
Sisi lain yang patut dikritisi dari buku ini
adalah penggunaan fenomenologi sebagai metode yang di mata penulis hampir
serupa dengan epistemologi ‘irfānī (hlm. 27). Terinspirasi
oleh creative imagination dari Henry Corbin, penulis terlihat “kurang
yakin” ketika mengatakan: “Jadi dapat dikatakan bahwa fenomenologi adalah salah
satu metode yang cukup tepat untuk memahami pengalaman spiritual seseorang.”
(hlm. 26). Bahkan penulis mengakui: “…objek kajian ‘irfānī sesuatu yang susah
‘dimasukkan akal’ pikiran manusia…” (hlm. 17). Ini jelas berbeda halnya dengan
objek kajian fenomenologi yang secara umum bersifat empirik-sensual.
Perbedaan objek kajian menjadi alasan meragukan
kehandalan fenomenologi, jika dimaksudkan lebih dari sekedar deskripsi
pengalaman spiritual saja. Benar bahwa wahdatul wujud sebagai pengalaman
spiritual adalah fenomena dalam realitas kemanusiaan. Tetapi berfikir tentang Allah
berarti kematian sebelum mati (hlm. 180, dan 253). Lalu bagaimana fenomenologi
dapat menganalisis pengalaman di alam “kematian sosial” yang memisteri, sementara
ia sendiri diciptakan untuk mengamati ranah kehidupan sosial yang empirikal?
Di sisi lain, untuk mengamati pengalaman
spiritual, terlebih dahulu ia akan dibawa kembali ke alam realitas sosial dalam
bentuk proposisi (qadhiyyah). Maka pengamat akan disibukkan oleh
‘tetekbengek’ kebenaran proposisional, baik secara empirikal maupun rasional. Akibatnya,
secara epistemologikal pengalaman wahdatul wujud tetap tinggal sebagai misteri.
Benar ia hadir sebagai evidensi/al-badāhah
yang jelas dengan sendirinya, tapi ia ‘miskin’ kriteria kebenaran yang menjadi
tuntutan alam realitas sosial manusia.
Terlepas dari persoalan epistemologikal, dengan
meminjam “pisau” analisis antropologi penulis cukup berhasil meruntuhkan
identitas semu bagi “Saya” dan jati diri yang dipaksakan oleh lingkungan sosial
(dalam Bab Saya dan Bab Diri). Lalu dalam Bab Ilmu, dengan pisau yang sama,
penulis berhasil menggeser rasionalitas sebagai batas jelajah ilmu. Baru
kemudian dalam Bab Berpikir, pikiran dimerdekakan dari pengaruh opini umum,
untuk kemudian diputuskan dari ide kemandirian rasio dari agama (Bab
Pemikiran).
Setelah melampaui tahapan lima bab di atas, dalam
Bab Hakikat dan Bab Makrifat, pembaca dibuka matanya untuk menyadari kehadiran
wahdatul wujud sebagai ada yang merealita. Bahwa hakikat yang paling tinggi
adalah mengenal Allah, sedangkan yang paling rendah adalah mengenal diri
sendiri (hlm. 248). Dari sini pembaca diantar pada penemuan hikmah (Bab 8),
yaitu ilmu yang diwariskan oleh Nabi Khaidir (hlm. 304).
Sepanjang pembacaan tidak bisa dilupakan bahwa
buku ini mengajak kita bertamasya lebih pada persoalan ‘irfānī, sebagai sebuah
kontribusi Islam dalam ilmu pengetahuan di dunia ini (hlm. 16). Selebihnya sampai
menutup halaman terakhir, persoalan wahdatul wujud tetap tinggal sebagai
misteri. Namun dengan menjadikan fenomenologi sebagai metode, penulis cukup
berhasil memasukkan wahdatul wujud dalam “tanda kurung.” Artinya, tunda dulu
kecenderungan ‘tankir’ Anda, apalagi ketergesaan klaim sesat, sebab yang
dibahas bukan lah wahdatul wujud seperti paham Ibn ‘Arabi, Siti Jenar, atau Hamzah
Fansuri.
Komentar
Posting Komentar