Hikmah
Allah
menganugerahkan al-hikmah, dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak, dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah [2]: 269).
Menurut Tafsir Jalalayn, kata al-hikmah
di sini dapat dipahami sebagai ilmu bermanfaat yang mengantar pada amalan. Demikian
pula menurut tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, al-hikmah
adalah ilmu yang kokoh dan perbuatan dijalankan berdasar ilmu tersebut. Adapun
pendalaman terhadap kata ini menimbulkan ragam pendapat dalam tiga konteks.
Pertama dalam konteks Alquran, antara lain Ibn ‘Abbas. Ia mengatakan hikmah
adalah pemahaman terhadap Alquran seperti tafsir, atau tentang muhkam
dan mutasyabih-nya. Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Abu
‘Aliyah.
Kedua, dalam konteks kenabian. Menurut Abu Malik, hikmah adalah Sunah
Rasulullah. Adapun al-Sadi mengatakan bahwa hikmah dalam ayat ini adalah kenabian
(nubuwah), namun ditolak oleh ulama lain. Menurut Ibn Katsir, ia lebih
umum dari sekadar nubuwah.
Ketiga, lebih luas dari dua konteks di atas. Zayd ibn Aslam menyatakan hikmah
sebagai akal, al-Nakha‘i mengartikannya sebagai pemahaman, Malik memahaminya
sebagai tafaqquh fi al-din, sedangkan al-Mujahid memaknainya
sebagai perkataan yang benar. Dari perspektif lain, Ibn Mas‘ud mengatakan hikmah
adalah rasa takut kepada Allah, sebab ini adalah puncak hikmah.
Kata hikmah dalam KBBI berarti kebijaksanaan,
makna terdalam, atau makna yang terkandung di balik satu peristiwa. Dalam arti
ini, hakikat/ontologi hikmah adalah pengetahuan manusia. Dengan kata lain,
manusia tidak bisa membicarakan hikmah sebagai hikmah itu sendiri yang lepas
dari pengetahuan secara kemanusiaan.
Kodrat jasad fisik manusia terkurung dalam
ruang dan waktu sehingga sumber pengetahuan terbatas pada yang didengar dan
dilihat, lalu akal melakukan abstraksi yang menghasilkan hikmah. Maka sumber
memperoleh hikmah tidaklah satu, melainkan tiga. Pertama Alquran yang
kita dengar dan imani kebenarannya. Kedua Sunah Rasul yang kita lihat
dan percayai karena dijamin oleh Alquran. Keduanya adalah satu paket kebenaran
yang penolakan terhadap salah satu berarti menolak keduanya. Ketiga,
realitas yang kita lihat, alami dan pahami dengan kaidah berpikir yang benar (‘aql
salim).
Sampai di sini jelas bahwa perbedaan pendapat
tentang hikmah hanya menunjukkan perbedaan sudut pandang. Adapun ketiga konteks
di atas merupakan kesatuan yang membentuk pengetahuan manusia tentang hikmah.
Tujuannya menyadarkan manusia sebagai hamba Allah yang sebenarnya, sebab
pelajaran hanya bisa dipetik oleh orang berakal.
Tulisan ini dimuat di Tabloit Pikiran Merdeka, Edisi 92, 5-11 Oktober 2015
Komentar
Posting Komentar