Duka Aisyah (Penafsiran Ayat 33 Surat al-Ahzab)

Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (الأحزاب: 33)
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak memalingkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Q.S. al-Ahzab [33]: 33)

Dalam ayat di atas, kata “بُيُوتِكُنَّ” yang berbentuk jamak muannas merujuk kepada para isteri Nabi yang menghuni rumah sesuai dengan penempatan oleh Nabi, bukan kepemilikan rumah. Gaya bahasa seperti ini memang lazim digunakan Alquran, misalnya dalam ayat berikut:
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ (الطَّلَاق: 1)
Jangan engkau mengeluarkan mereka dari rumah mereka. (Q.S. al-Thalaq [65]: 1)

Secara kebahasaan, penyandaran kata “buyut” kepada “hunna” dalam ayat bukan berarti rumah itu milik si isteri, tapi karena melihat peran isteri sebagai pengelola rumah suaminya. Demikian pula para isteri Nabi saw., rumah yang mereka tempati bukan milik mereka, tapi dibangun oleh Rasulullah beriringan dengan bangunan masjid. Di masa hidup Rasul, ketika masjid menjadi sempit akibat bertambahnya jamaah, para sahabat pun menggunakan rumah para isteri Rasul sebagai tempat salat Jumat. Itulah alasannya kenapa rumah para isteri Nabi saw. tidak diwariskan, ketika mereka wafat, rumah itu justru dijadikan masjid.  
Selain digunakan untuk salat Jumat, rumah Nabi juga tidak sepi dari orang yang berkunjung, maka wajar jika para isteri Nabi saw. diperintah menjaga kehormatan diri mereka secara lebih ketat. Itulah kenapa ayat di atas menjelaskan alasan (kausasi/ta‘lîl), bahwa perintah menetap dalam rumah itu dapat mewujudkan pemeliharaan kehormatan ahli bayt (diri mereka, keluarga Rasul yang lain), dan kehormatan Rasul sendiri. Dari itu kata “buyut” yang berbentuk jamak menunjukkan rumah-rumah yang terpisah. Faktanya memang Rasulullah menempatkan para isteri beliau masing-masing di rumah tersendiri. Tetapi semua tetap satu sebagai keluarga Nabi sehingga dalam ayat yang sama Alquran juga menggunakan kata “ahl al-bayt” dalam bentuk mufrad, yaitu nama jenis yang mencakup semua keluarga Nabi (istiqra' afrad).
Pada dasarnya kata ahli bait secara bahasa berarti penghuni rumah, yaitu isteri, anak, menantu, dan cucu. Namun karena ayat 33 surat al-Ahzab sedang berbicara tentang perintah khusus kepada para isteri Nabi, maka kata ahli bayt di situ mengacu kepada para isteri Nabi saw. Jadi pokok pikiran yang hendak disampaikan ayat adalah perintah menetap dalam rumah, satu rangkaian dengan ayat sebelumnya (ayat 32) dan ayat sesudahnya (ayat 34). Sementara alasan untuk menyucikan ahli bait merupakan penjelasan tambahan yang secara redaksional tidak bisa dipisahkan menjadi pokok pikiran yang mandiri.
Adapun masuknya Fatimah, Ali, Hasan, dan Husain dalam konteks ayat di atas, terjadi karena perbuatan Nabi sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Aisyah:
قَالَتْ عَائِشَةُ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ، مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ، فَجَاءَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فَأَدْخَلَهُ، ثُمَّ جَاءَ الْحُسَيْنُ فَدَخَلَ مَعَهُ، ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا، ثُمَّ جَاءَ عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ، ثُمَّ قَالَ: "إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا [الأحزاب: 33]"
Aisyah ia berkata: Nabi saw. keluar pada suatu pagi dengan memakai kain bercorak berwarna hitam. Lalu datanglah Hasan bin Ali, maka beliau masukkannya ke dalam kain. Kemudian Husain datang, maka beliau masukkan ia bersamanya. Kemudian datang Fathimah, maka beliau masukkan ke dalamnya. Kemudian datang Ali, lalu beliau masukkan pula ke dalamnya. Lalu beliau membaca ayat 33 surat al-Ahzab: Sesungguhnya Allah bermaksud hendak memalingkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (HR. Muslim).

Dengan keberadaan hadis Muslim ini, maka penafsiran yang baik ialah yang menggabungkan kedua dalil ini. Jadi yang dimaksud dengan ahli bayt dalam ayat adalah para isteri Nabi, anak beliau (Fatimah), cucu beliau (Hasan dan Husain), dan Ali (menantu). Perlu digarisbawahi, bahwa Fatimah, Ali, Hasan, dan Husain adalah orang yang ikut terkena efek dari perintah dalam ayat, yaitu terjaga kehormatannya, jadi tidak ikut diembankan perintah menetap dalam rumah. Adapun para isteri Nabi, mereka diperintah menetap di rumah, dan merasakan sendiri hikmah terjaganya kehormatan sebagai akibat perintah tersebut.
Sebagian kalangan Syiah berpendirian bahwa para isteri Nabi tidak termasuk dalam cakupan kata ahli bait dalam ayat 33 surat al-Ahzab. Menurut al-Qurthubi, penafsiran seperti ini bersumber dari al-Kilabi (di zaman tabiin), namun orang ini tidak diakui keabsahan tafsirnya (tidak di-i‘tibar), seandainya di zaman salaf salih, sungguh ia ditolak. Al-Kilabi berhujah dengan zamir [كُمْ] pada ungkapan “لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ” dan “وَيُطَهِّرَكُمْ” bahwa zamir ini menunjukkan peralihan topik kepada orang yang berbeda, bukan lagi para isteri Nabi. Jadi ayat ini ditafsir secara terpenggal dari keseluruhan ayat, dan terpisah dari ayat sebelum dan sesudahnya.
Para mufasir melihat pendapat al-Kilabi ini mengada-ada, sebab susunan redaksi ayat tidak memungkinkan untuk dipahami demikian. Nyatanya penggunaan zamir jamak muzakkar yang mencakup muannas cukup lazim digunakan Alquran, misalnya dua ayat tentang isteri Nabi Ibrahim as. dan isteri Nabi Musa as. berikut ini:
رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ (هود: 73)
Rahmat Allah dan berkah-Nya atas kamu wahai ahli bayt (keluarga Ibrahim). (Q.S. Hud [11]: 73)

إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى (طه: 10)
Ketika ia (Musa as.) melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.” (Q.S. Thaha [20]: 10)

Ayat ini menggunakan zamir jamak muzakkar [كُمْ] untuk menyebut isteri-isteri Nabi Ibrahim as. dan isteri Nabi Musa as., jadi penggunaan zamir jamak muzakkar tidak bisa dijadikan alasan bagi penafsiran al-Kilabi. Dengan demikian, kata ahli bait dalam ayat adalah isteri Nabi.
Kepada para isteri Nabi inilah perintah khusus dalam ayat ditujukan, yaitu untuk tetap berada di rumah mereka demi menjaga kehormatan. Menurut Syaykh Thahir ibn ‘Asyur, berdasar perintah dalam ayat ini, maka menetap di rumah merupakan ibadah bagi para isteri Nabi. Berpijak pada teks ayat ini, pendapat sebagian ulama bahwa perintah menetap dalam rumah tidak berlaku bagi para isteri kaum muslimin (selain isteri Nabi) tidak bisa dinyatakan keliru. Tapi larangan berhias dan berperilaku seperti jahiliyyah (tabarruj) tetap berlaku umum, termasuk untuk semua isteri kaum muslimin. Hal ini sebagaimana penegasan dalam ayat 60 surat al-Nur, di mana wanita  beriman dilarang menampakkan perhiasan mereka.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
Katakan kepada wanita yang beriman “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera sudara laki-laki mereka, atau putera-putera sudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. al-Nur [24]: 31)

Kata “tabarruj” dalam ayat 33 surat al-Ahzab berarti perbuatan wanita yang sengaja memperlihatkan ‘perhiasan’ kepada laki-laki, baik itu bagian tubuhnya yang indah, perhiasan indah yang dipakai ditubuhnya, atau pakaian indah yang dipakai. Penjelasan detil bagi larangan tabarruj ini dapat dilihat dalam ayat 31 surat al-Nur, “wa la yubdina zinatahunna…” Namun penggunaan kata “tabarruj jahiliyah” dalam ayat 33 surat al-Ahzab lebih mendalam lagi (balaghah), sebab mengandung unsur membangkitkan rasa muak terhadap tradisi jahiliyah.
Para ulama berbeda pendapat tentang kata “al-jahiliyyat al-ula” dalam ayat. Sebagian mengatakan masa kelahiran Nabi Ibrahim, sebab para wanita kala itu keluar rumah dengan memakai baju rumahan bertatahkan permata, tujuannya memperlihatkan kemolekan dirinya kepada kaum laki-laki. Ada pula ulama yang mengatakan itu di zaman antara Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim, sebab kala itu wanita turun ke jalan dengan memakai baju permata yang tidak berjahit pinggirnya, dan ada juga yang memakai baju tipis sehingga tidak menghalangi pandangan lelaki dari tubuhnya.
Sebagian ulama meyakini bahwa jahiliyah yang dimaksud adalah masa sebelum turunnya syariat Islam, sebab wanita kala itu tidak memakai hijab. Lalu Islam menetapkan ajaran yang memelihara kehormatan mereka, jadi kata “al-jahiliyyat al-ula” bukan berarti jahiliyah pertama sehingga ada jahiliyah berikutnya. Sebagian ulama yang lain menafsirkan kata “al-jahiliyyat al-ula” tanpa mengaitkan dengan zaman nabi tertentu, tapi dikatakan sebagai zaman kebodohan di mana wanita tidak menutup bagian tubuhnya yang tidak patut tampak. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa “tabarruj” itu artinya kondisi di mana wanita bergaul bebas dengan lelaki, jadi tidak terbatas pada zaman dahulu atau masa yang akan datang.
Dari semua penafsiran kata “al-jahiliyyat al-ula” yang dikutip al-Qurthubi, penulis cenderung melihat kata ini sebagai kondisi jahiliyah yang ada dalam rentang waktu sebelum Islam datang, tanpa perlu dikhususkan kapan masanya secara konkret. Alasannya karena Alquran hendak memberi contoh, jadi contoh itu harus merupakan hal yang telah ada, yaitu kondisi yang lebih awal dari masa ayat ini berbicara. Contoh itu dapat memberi pemahaman yang begitu dekat dan nyata bagi audien yang dituju, hal ini dapat dilihat dari sikap para isteri Nabi setelah mendengar ayat ini.
Contohnya sikap Saudah, setelah wafat Rasul, ia bahkan tidak mau keluar untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Terserah apakah sikap Saudah ini dipandang berlebihan atau tidak, yang jelas para isteri Nabi berusaha menjaga sebaik mungkin perintah ini, bahkan termasuk untuk kegiatan luar yang pernah dilakukan bersama Nabi, seperti haji dan umrah. Padahal keluar untuk aktivitas ini bisa dinyatakan sanggup dipelihara agar tidak mengandung unsur tabarruj.
Di sisi lain, Rasulullah tidak bersikap kaku, beliau mengizinkan para isterinya keluar untuk keperluan mendesak, seperti sabda Rasulullah berikut ini:
إِنَّ اللَّهَ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
Sesungguhnya Allah mengizinkan kamu keluar untuk keperluanmu.

Contoh keperluan itu seperti keluarnya Aisyah pada saat orang tuanya (Abu Bakar) sakit, yaitu sakit yang kemudian diketahui sebagai sakit menjelang wafat. Selain alasan di atas, selebihnya Aisyah berusaha menyiasati agar bisa memenuhi aktivitas sosialnya sambil tetap berada di rumah. Misalnya kala Sa’ad ibn Abi Waqqash meninggal, Aisyah meminta agar jenazah Sa’ad dibawa ke rumahnya (masjid) supaya ia bisa ikut melakukan shalat jenazah.
Aisyah juga pernah keluar untuk urusan politik, ia menuju Basrah untuk kemaslahatan umat saat terjadi Perang Jamal. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan sahabat sehingga sebagian sahabat menolak seperti ‘Ammar ibn Yasir dan ‘Ali ibn Abi Talib. Tapi sebagian yang lain justru mendukung dan berangkat bersama Aisyah, misalnya Thalhah dan Zubayr. Tentunya bisa dipahami, munculnya perbedaan karena akibat beda perspektif dalam ijtihad mereka terhadap ayat Alquran.
Aisyah melihat kehadirannya ke Basrah sebagai kebutuhan mendesak yang berarti memenuhi panggilan ayat berikut:
وَإِنْ طائِفَتانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما [الحجرات: 9]
Jika dua kelompok umat Islam berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (Q.S. al-Hujurat [49]: 9)

Perintah melakukan ishlah dalam ayat ini dipandang termasuk dalam keizinan yang dinyatakan Rasul dalam hadis yang dikutip di atas. Alasannya, sebagai Umm al-Mukminin, wajar jika umat memiliki keterikatan dan kerinduan atas kehadiran beliau. Dari itu sahabat yang mendukung yakin bahwa kehadiran beliau akan membawa maslahat, sebab umat akan merasa malu dengan kehadiran beliau, dan sadar dari fitnah yang terjadi akibat ulah mereka.
Tentunya masing-masing sahabat punya alasan sendiri dalam ijtihad mereka. Dari itu sepatunya kita ber-tahsin zann terhadap mereka, dan sikap Aisyah juga harus diapresiasi sebagai bentuk kepeduliannya atas masalah umat. Demikian pula sikap kita terhadap peristiwa perang Shiffin, mungkin saja keadaan bisa membaik, tapi provokasi dari penyebar fitnah telah duluan mengambil korban. Sebagian orang dari kalangan Syiah justru menjadikan peristiwa keluarnya Aisyah ke Basrah sebagai alasan menghujat Aisyah. Menurut penulis sikap seperti ini tidak proporsional, sebagai seorang muslim, sepatutnya lah kita ber-tahsin zann.

Aisyah sendiri meski sudah sangat hati-hati dalam mengambil putusan ijtihadnya, namun ia juga kerap menangis ketika membaca ayat ini. Menurut al-Qurthubi dan Ibn Asyur, menangisnya Aisyah bukan karena menyesali keputusan pergi ke Basrah, tapi lebih karena fitnah yang menimpa umat ini. Lebih jauh lagi, seandainya Aisyah menyaksikan fitnah yang menimpa kaum wanita di belahan dunia muslim sekarang, tentunya Aisyah lebih berduka lagi. Adakah fitnah yang lebih besar dari menjadi ‘jalang’-nya para wanita di tengah komunitas umat Islam? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

QURBAN: ISHAK, ATAU ISMAIL? (Penafsiran Ayat 100-103 Surat al-Shaffat)

Kumpulan Kaidah Fiqhiyah

Hubungan Teori Sistem dengan Pendekatan Holistik dalam Ijtihad Kontemporer

Demi Jiwa (Penafsiran Ayat 7-10 Surat al-Syams)

Bekas di Dahi (Penafsiran Ayat 29 Surat al-Fath)

Ayat-ayat Setan (Satanic Verses): Penafsiran Ayat 52 Surat al-Hajj

Kumpulan Kaidah Usūliyyah

Kumpulan Kaidah Maqasidiyah

Paradigma Moderat Tafsir Kesetaraan Gender

Nuzulul Quran Penafsiran Ayat 185 Surat al-Baqarah