Masyarakat Berbasis Jamaah
فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ
الْقَاصِيَةَ
Senantiasalah kamu dalam jamaah, sebab serigala
hanya memangsa yang menyendiri.
(HR. al-Nasa’i)
Secara utuh, al-Nasa’i meriwayatkan Hadis ini
dalam konteks ibadah (salat jamaah). Suatu hari Abu Thalhah al-Ya‘muri bertemu
dengan Abu Darda’. Setelah dialog ringan tentang tempat domisili, Abu Darda’
menyatakan pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah setiap tiga
orang dalam satu daerah atau tempat terpencil yang tak mendirikan salat,
kecuali mereka dikuasai setan. Oleh karena itu senantiasalah kamu dalam jamaah,
sesungguhnya serigala hanya memangsa yang menyendiri.”
Meski disampaikan dalam konteks ibadah, namun
Hadis di atas mengandung nilai filosofis universal tentang kebaikan jamaah. Sebab
nyatanya perintah “‘alaykum bil jama‘ah” juga disampaikan Rasul dalam
konteks sosial kemasyarakatan dan siyasah/politik. Dalam khutbahnya, Khalifah Umar
berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku berdiri di hadapanmu seperti posisi
Rasulullah saw. di hadapan kami, beliau bersabda:
“Kuwasiatkan padamu untuk mengikuti sahabatku,
kemudian orang-orang setelah mereka (tabi‘in), lalu orang-orang setelahnya
(tabi‘ tabi‘in). Setelah itu akan merebak kebohongan sampai-sampai orang yang
bersumpah tidak bisa dipercaya, dan orang yang bersaksi tidak bisa diterima
kesaksiannya. Bukankah jika seseorang berduaan dengan seorang wanita, maka yang
ketiga di antara keduanya adalah setan. Maka seharusnyalah kamu berjamaah,
karena sesungguhnya setan bersama orang yang menyendiri, dan setan menjauh dari
perkumpulan dua orang. Barangsiapa menginginkan kehidupan yang enak di dalam
syurga, maka hendaklah ia senantiasa dalam jamaah orang-orang yang terlindungi
oleh kebaikannya sendiri dan hanya buruk oleh keburukannya sendiri.” (HR.
al-Tirmizi).
Hadis lain, Abu Daud meriwayatkan dari Samurah
ibn Jundub, bahwa Rasulullah saw. menamakan pasukan mereka sebagai kuda Allah. Samurah
berkata: “Ketika kami dilanda kekhawatiran beliau memerintahkan kami untuk
berjamaah, bersabar, dan teguh pendirian (sakinah). Demikian pula apabila kami menghadapi
peperangan.” Tiga Hadis ini dan Hadis-hadis lain yang senada dengannya
terhubung oleh satu benang merah, sehingga semuanya meneguhkan keberlakuan salah
satu nilai Islami, yaitu jamaah.
Secara induktif-tematik (istiqra’i-mawdhu‘i),
Hadis-hadis ini mengantarkan pada satu nilai tujuan syariat (maqashid
al-syari‘ah) secara filosofis. Bahwa Islam bermaksud membangun masyarakat islami
berbasis jamaah. Tetap dalam jamaah berarti beribadah (salat) berjamaah, kepedulian
terhadap jamaah (saling menasehati, berzakat, sedekah dll.), tatakelola
pemerintahan (siyasah) berbasis jamaah. Mari merenung, sekarang nilai-nilai
jamaah ini tergerus oleh kampanye kebebasan individual, lalu apakah kita peduli?
Tulisan ini telah dipublikasi pada Tabloid Pikiran Merdeka, edisi 100, 30 November-6 Desember 2015
Komentar
Posting Komentar