Jebakan Paradigma
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ
نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ
بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(الأنعام: 122ا)
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan
di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah
Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka
kerjakan. (Q.S. al-An ‘am [6]: 122).
Ayat ini menjawab pertanyaan tentang
orang-orang musyrik yang terus bertahan dalam kesyirikannya. Mereka mendebat
dan mempengaruhi umat Islam agar mengikuti jalan pikiran mereka. Padahal Alquran
telah memberi tuntunan yang kebenarannya dapat diterima secara rasional. Realitanya
mereka itu orang-orang yang cerdas, lalu apakah rasionalitas intelektual mereka
tidak bisa menuntun kepada kebenaran? Pertanyaan ini muncul terkait persoalan
yang direkam dalam ayat berikut:
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang
yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan
yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan
kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.
(Q.S. al-An ‘am [6]: 121). Larangan dalam ayat ini
menimbulkan benturan antara umat Islam dengan kaum musyrikin.
Umat Islam didebat, cohtohnya: “Apakah logis, jika binatang yang dibunuh
dengan tangan kita boleh dimakan, sedangkan yang dibunuh oleh Allah tidak boleh
dimakan?” Perdebatan seperti ini banyak dilancarkan untuk menentang hukum yang
ditetapkan Islam. Nah di sini Alquran membongkar, bahwa logika yang mereka
bangun itu sebenarnya bisikan setan. Dan umat Islam diingatkan agar tidak
terpengaruh dengan logika berpikir mereka, apalagi ikut-ikutan secara apriori.
Menariknya, Alquran menamsilkan mereka seperti orang yang terjebak di
dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya. Tentunya kata “zulumat”
(kegelapan) pada ayat ini harus dipahami secara metaforis. Nah, dengan
memerhatikan lanjutan ayat, maka ‘kegelapan’ yang dimaksud itu dapat dipadankan
dengan kata ‘paradigma.’ Sebab paradigma merupakan cara pandang dunia, sudut
pandang dan sekaligus kerangka berpikir yang menentukan simpulan terhadap
realitas.
Perhatikan pada ujung ayat, dinyatakan bahwa setan ‘menghias’ apa yang
mereka kerjakan. Inilah jebakan paradigma, sehingga dalam pikiran pemiliknya
tidak akan terlintas ‘ide’ untuk mencoba sudut pandang lain. Itulah mengapa
agama tidak bisa dipaksa, bahkan yang timbul adalah perlawanan. Orang tidak
bisa keluar dari paradigma yang dianutnya, kecuali dengan hidayah Allah.
Sumber:
Pikiran Merdeka, edisi 146, 14-20 November 2016.
Komentar
Posting Komentar