KTP Islam, Paradigma Syirik
مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (31) مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ
وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (32)
Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi
beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka. (Q.S. al-Rum [30]: 32).
Sebelumnya pada ayat 30 Surah al-Rum, manusia diperintahkan: “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetap-lah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Penjelasan tentang agama fitrah dilanjutkan
oleh Alquran dengan peringatan pada ayat 31: “dengan kembali bertaubat
kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.”
Selanjutnya, ayat 32 Surah al-Rum—menurut Ibn ‘Āsyūr—bukan
membicarakan soal murtad dari Islam. Nyatanya “musyrikin” di situ disebutkan
sebagai contoh yang tidak boleh diikuti oleh umat Islam. Adapun aspek yang tidak
boleh dicontoh adalah fenomena memecah belah dalam agama mereka (musyrikin) menjadi
golongan-golongan. Menariknya Alquran memberi penjelasan di tingkat paradigmatif,
bahwa masing-masing mereka terkurung dalam konstelasi doktrin paradigma golongannya.
Ketika orang-orang dalam golongan itu didoktrin untuk bangga dengan produk
olah pikir golongannya, maka sulit sekali untuk keluar. Itu disebabkan oleh pengaruh
produk pikiran doktrinal di tingkat paradigmatif. Paradigma merupakan cara
pandang dunia suatu golongan, ia berperan sebagai perspektif dan sekaligus cara
berpikir orang-orang dalam golongan itu. Seseorang yang lahir, dibesarkan dan
dibangun kebanggaannya dalam satu doktrin paradigmatif tertentu, hampir
mustahil bisa berubah.
Ironisnya, paradigma yang doktrinal menyebabkan penganutnya tidak bisa
berinteraksi dengan pemikiran lain di luarnya. Rasa bangga dengan doktrin
golongannya membuat ia was-was, dan melihat pemikiran lain sebagai ancaman
sehingga mudah terjadi benturan. Ini lah ciri doktrin yang paradigmatif dalam
agama-agama musyrikin, dan Alquran melarang umat Islam mencontohnya. Nah,
Alquran menyebut rasa bangga “farihun” sebagai kata kunci sehingga mudah
mengenal gejalanya.
Mari renungkan, berapa banyak sekarang ini muslim yang bangga dengan
pola berpikir materialisme, hedonisme, liberalisme, dan sebagainya. Tidak bisa
dipungkiri revolusi teknologi informasi membuat arus informasi global dapat
menjangkau siapa saja. Lalu muncul kelompok-kelompok orang ber-KTP Islam, tapi paradigma
berpikirnya kapitalistik. Kiranya lewat ayat ini Alquran hendak mengingatkan
kita, bahwa paradigma yang cocok bagi umat Islam adalah paradigma Alquran,
sebab substansi Islam adalah ajaran Alquran.
Sumber:
Pikiran Merdeka, edisi 144, 31 Oktober-06 November 2016.
Komentar
Posting Komentar